bom atom

Global Variables

Monday, December 1, 2014

Metode di dalam Filsafat Hegel

·
Metode di dalam Filsafat Hegel
Pada bab sebelumnya saya sudah menjabarkan garis besar proyek filsafat kritis Immanuel Kant. Inti dari metode berpikir yang diajarkan Kant adalah pencarian kondisi-kondisi kemungkinan dari pengetahuan manusia, dan pencarian dasar rasional dari fenomena yang hendak diteliti. Filsafat Kant sangat mempengaruhi para filsuf setelahnya. Salah satu filsuf yang sangat dipengaruhi oleh Kant, namun juga melakukan kritik tajam terhadap Kant, adalah Hegel. Pada bab ini saya ingin mengajak anda mencecap sedikit gaya berpikir Hegel, terutama yang terkait dengan metodenya untuk memahami realitas. Sebagai pendasaran saya menggunakan teks tulisan Larry Krasnoff yang berjudul Hegel’s Phenomenology of Spirit.[1] Pertanyaan pertama yang layak diajukan adalah, apa sebenarnya latar belakang filsafat Hegel?
Latar Belakang
Dunia kita sekarang ini sangat dipengaruhi oleh peradaban Eropa utara yang berkembang sejak 4 abad yang lalu. Pada tahun-tahun itu, Eropa telah berubah dari sebuah peradaban yang sangat bernuansa religius menjadi peradaban yang mengedepankan ilmu pengetahuan, militer, dan filsafat. Tiga hal itu mendorong terciptanya sebuah peradaban terbesar sepanjang sejarah manusia, yang kini pengaruhnya bisa dirasakan di seluruh dunia. Para filsuf menamakan gejala perkembangan pesat itu sebagai modernitas (modernity). Mengapa modernitas bisa terjadi, dan bagaimana prosesnya?
Sampai sekarang para filsuf dan sejarahwan masih mencari jawaban yang paling tepat atas pertanyaan itu. Namun menurut penelitian Krasnoff, penelitian para ahli biasanya terpusat pada peristiwa-peristiwa khusus tertentu, seperti Reformasi Protestan, perkembangan fisika modern melalui penemuan Galileo dan Newton, penemuan dan penaklukan benua Amerika, perdagangan bebas, kapitalisme, serta Revolusi Amerika dan Perancis. Apa sebenarnya dampak langsung dari peristiwa-peristiwa itu, sehingga pada akhirnya bisa mendorong terjadinya proses modernisasi?
Menurut Krasnoff jawaban atas pertanyaan itu terletak pada perubahan paradigma (paradigm change) di dalam memandang realitas. Alam dipandang sebagai alam obyektif yang bisa dipelajari dan digunakan untuk sepenuhnya kepentingan manusia. Agama dipandang bukan lagi sebagai urusan bersama, tetapi sebagai urusan privat. Agama dipisahkan dari urusan negara, dan didorong ke pinggir kehidupan politik.
Politik pun tidak lagi didefinisikan sebagai upaya meraih kekuasaan sebesar mungkin untuk memperkaya diri, melainkan sebagai alat untuk menjaga dan mengembangkan hak-hak asasi manusia serta hak politik untuk memilih siapa yang berkuasa secara demokratis. Tiga pandangan itu kini sudah menyebar ke seluruh dunia, dan menjadi paradigma yang dominan. Namun sekarang ini banyak pemikir yang mempertanyakan, apakah modernitas adalah satu-satunya paradigma kehidupan yang bisa digunakan? Apakah tidak ada alternatif?
Ada beberapa alternatif yang kiranya mungkin terjadi, seperti pemerintahan totaliter, baik atas nama agama ataupun ras dominan, masyarakat mistik yang menghormati alam namun lupa memanfaatkannya untuk kepentingan manusia, serta masyarakat tertutup yang menutup kesamaan mutlak, tanpa menghormati perbedaan maupun hak-hak asasi manusia sedikitpun. Dalam arti ini seperti yang pernah ditulis Magnis-Suseno, demokrasi, yang merupakan esensi politik modernitas, adalah pilihan terbaik di antara semua alternatif yang ada. Tidak hanya itu menurut Winston Churchill, perdana menteri Inggris pada saat perang dunia kedua, demokrasi adalah bentuk politik terbaik dibanding bentuk-bentuk politik lainnya yang pernah dicoba di dalam sejarah manusia.
Apakah modernitas adalah sesuatu yang baik secara moral? Bagi Krasnoff pertanyaan itu tidaklah relevan. Itu seperti bertanya apakah oksigen itu baik untuk manusia atau tidak? Tentu saja setiap orang membutuhkannya. Dan orang tidak memiliki kemungkinan untuk memilih yang lain. Tidak hanya itu menurut Krasnoff, pertanyaan tentang apakah modernitas baik secara moral adalah pertanyaan yang problematis, karena modernitas telah merasuki sendi-sendi kehidupan masyarakat jaman sekarang sebegitu mendalam dan meluas. Setiap orang terpengaruh dengan caranya masing-masing. Setiap orang juga memaknainya dengan caranya sendiri-sendiri. Efek dari modernitas tidak bisa direduksi hanya dalam satu hal saja.
Lalu apakah modernitas memiliki sisi buruk? Menurut Krasnoff sisi negatif dari modernitas terletak pada sisi ekonomi dan teknologinya. Yang pertama adalah kecenderungan modernitas untuk menerapkan paham kapitalisme secara berlebihan. Akibatnya adalah manusia dikorbankan dan dieksploitasi atas nama pengumpulan keuntungan dan modal yang lebih tinggi lagi. Teknologi membuat manusia menjadi tidak manusiawi. Hubungan manusia tidak lagi dilandasi ketulusan, melainkan melulu hubungan kebutuhan yang sifatnya instrumental, material, dan dangkal. Teknologi juga menghasilkan limbah yang pada akhirnya merusak ekosistem. Krisis global warming yang kita alami secara global sekarang ini adalah hasil dari penggunaan teknologi yang kelewat batas, dan akhirnya menghancurkan alam. Secara kultural modernitas juga seringkali meremehkan budaya-budaya lokal partikular yang memiliki cara berpikir berbeda. Hal ini tampak jelas di dalam arogansi negara-negara Eropa dan Amerika, ketika berhadapan dengan negara-negara Asia dan Afrika.
Lalu apa sisi positif dari modernitas? Menurut Krasnoff sisi positif modernitas paling tampak pada aspek moral dan politik. Secara khusus modernitas mengedepankan dan mengembangkan kebebasan manusia sebagai individu. Pada masa sebelumnya cara berpikir dan pilihan manusia dibatasi oleh kelas sosial, tradisi, dan agama. Namun dengan berkembangnya modernitas, manusia mulai menemukan dan berani mengedepankan kebebasannya. Dalam soal agama setiap orang berhak memutuskan agama apa yang mereka peluk. Tidak hanya itu setiap orang juga berhak mengekspresikan keyakinan agamanya, sejauh itu tidak melanggar kebebasan orang lain. Dalam hal politik setiap orang bebas untuk memilih penguasa manakah yang layak memerintah di sebuah negara. Dalam hal ekonomi setiap orang bebas untuk mengumpulkan harta kekayaan, sejauh dalam batas-batas hukum. Dan dalam hal budaya, setiap orang berhak hidup dengan caranya masing-masing, sejauh itu masih berada dalam batas-batas hukum dan tidak melanggar kebebasan orang lain.
Apakah sisi-sisi positif tersebut sungguh terwujud nyata di dalam realitas? Tentu saja di dalam kenyataan, tidak ada satupun dari cita-cita ideal tersebut terwujud secara sempurna. Kebebasan manusia masih saja dikungkung oleh kekuatan-kekuatan budaya, ekonomi, dan politik yang tak terbendung oleh aspirasinya terhadap kebebasan. Namun seperti yang berulang kali ditulis oleh B. Herry Priyono di dalam berbagai tulisannya, cita-cita tidak akan lenyap hanya karena belum terwujud di dalam realitas, begitu pula cita-cita modernitas tentang kebebasan harus menjadi tujuan utama dari semua praktek politik, ekonomi, agama, dan budaya sekarang ini.
Lalu apa arti pembicaraan tentang modernitas tersebut dengan Hegel, tokoh kita pada bab ini? Pada hemat Krasnoff cita-cita modernitas tentang kebebasan terasa paling kental merasuk di dalam seluruh tubuh filsafat Hegel. Tulisan-tulisan Hegel menggambarkan bagaimana roh absolut bergerak di dalam sejarah untuk sampai pada kebebasan. Namun mengapa Hegel menjadikan tema kebebasan, yang merupakan esensi modernitas, di dalam filsafatnya? Menurut penelitian yang dilakukan Krasnoff, Hegel memilih kebebasan sebagai tema utama filsafatnya, karena ia pertama-tama terpesona oleh revolusi Perancis. Sebagai seorang pemuda yang lahir pada 1770, ia terpana oleh gelora kebebasan yang mewujud secara nyata di dalam revolusi Perancis.
Mengapa ia begitu terpesona dengan cita-cita kebebasan? Untuk menjawab ini kita perlu sedikit mengetahui latar belakang historis Hegel sebagai seorang pribadi. Ia adalah seorang anak pegawai negeri sipil rendahan dari Stuttgart. Walaupun miskin namun Hegel sangat cerdas. Pada 1788 ia masuk seminari (sekolah pendidikan calon imam di dalam Agama Katolik) di Universitas Tuebingen. Di sana ia bertemu dengan Friedrich Schelling (juga seorang filsuf Idealis Jerman yang cukup ternama) dan menjalin persahabatan dengannya. Schelling dan Hegel kini dikenal sebagai para filsuf Idealisme Jerman. Secara singkat Idealisme Jerman adala paham filsafat yang berpendapat, bahwa realitas bukanlah material secara hakiki, melainkan bentukan dari konsep-konsep rasional yang terletak di dalam pikiran manusia. Konsep-konsep tersebut seperti aku murni, roh absolut, non-aku, dan sebagainya. Idealisme Jerman berkembang pada abad ke-18 di Jerman, namun pengaruhnya masih sangat terasa hingga sekarang ini.
Masa Hegel hidup adalah masa yang penuh dengan tantangan. Revolusi Perancis dengan cita-cita kebebasan, persamaan, dan persaudaraan mengguncang tatanan monarki feodal sebelumnya. Walaupun pada masa itu Perancis adalah tempat yang penuh dengan gejolak, namun Jerman, tempat Hegel lahir dan tumbuh, tetap stabil seolah tidak terjadi apa-apa. Universitas Tübingen seolah tetap steril, jauh dari gejolak yang ditimbulkan oleh Revolusi Perancis dan gerakan filsafat Pencerahan. Memang pada waktu itu, Tübingen adalah universitas yang konservatif. Teks-teks filsafat Pencerahan yang kental dengan ide otonomi dan kebebasan individu dilarang untuk disebarkan. Tentu saja Hegel tidak mematuhi aturan yang aneh itu. Masalah yang langsung dihadapinya adalah, bagaimana menerapkan cara berpikir modern yang ditimbanya dari para filsuf Pencerahan di Jerman, yang pada masa itu relatif masih merupakan masyarakat tradisional?
Pada masa yang sama, Inggris dan Perancis sudah menjelma menjadi negara modern. Di negara-negara itu, kebebasan sudah mulai menjadi bagian dari kehidupan individu dan kehidupan sosial. Sebaliknya di Jerman orang berkumpul untuk berdiskusi soal filsafat Pencerahan pun kerap kali harus berbenturan dengan otoritas pemerintah. Dengan kata lain dapatlah dikatakan, bahwa pada masa itu, Jerman masih merupakan negara terbelakang. Namun Hegel akibat membaca secara intensif tulisan-tulisan Rousseau dan Kant berhasil menerobos keterbelakangan itu, dan akhirnya merumuskan filsafatnya sendiri secara kreatif.[6]
Menurut Krasnoff prinsip utama di dalam filsafat Hegel adalah subyektivitas (subjectivity). Hal ini menjadi jelas, jika orang berusaha membaca karyamagnum opus Hegel yang berjudulPhenomenology of Spirit. Hegel sendiri mengatakan tujuan filsafatnya adalah untuk menggengam (grasp) dan mengekspresikan (express) subyektivitas.[7] Artinya adalah tujuan dari suatu refleksi filosofis adalah untuk memahami karakter dasariah dari subyektivitas manusia. Tidak hanya itu filsafat pun sebenarnya adalah ekspresi dari subyektivitas manusia itu sendiri. Namun bentuk ekspresi yang bagaimana? Apa sebenarnya hakekat (nature) dari subyektivitas, dan bagaimana filsafat bisa mengekspresikannya?[8]
Subyektivitas di dalam Filsafat Hegel
Di dalam filsafat tema subyektivitas adalah tema yang sudah berumur ratusan tahun, jauh sebelum masa hidup Hegel. Para filsuf modern seperti Kant dan Descartes merefleksikannya secara sistematis dan mendalam. Namun menurut Hegel refleksi filsafat tentang subyektivitas di dalam filsafat Kant maupun Descartes masih terjebak pada kesalahpahaman dan inkoherensi. Seperti yang ditulis oleh Krasnoff, bagi Descartes, subyektivitas adalah konsep yang bersifat kontemplatif. Fungsi konsep itu sendiri semata-mata hanya sebagai titik awal (starting point) untuk memberikan kepastian metodologis (methodological certainty). Tidak ada kepastian apakah pikiranku memiliki hubungan langsung dengan realitas. Yang pasti adalah bahwa aku sedang berpikir (I am thinking), dan pikiran itu selalu mengarah pada sesuatu. Aku tidak pernah berpikir kosong, karena aku selalu berpikir tentang sesuatu.
Namun menurut Krasnoff jika pikiran adalah soal individu subyektif semata, maka tidak ada kemungkinan untuk menilai, apakah pikiran itu tepat atau tidak. Jika argumen ini benar, lalu bagaimana hubungan antara pikiran, konsep, dan dunia fisik eksternal? Ini adalah pertanyaan yang langsung menjatuhkan seluruh sistem Cartesian. Bagi Descartes hubungan pikiran dengan dunia luar terletak pada fakta, bahwa Tuhan itu ada, dan Ia tidak mungkin menipu kita. Tentu saja argumen ini sama sekali tidak kuat, dan bahkan terkesan sangat dogmatis. Yang ingin dicapai Descartes adalah keketatan berpikir metodis di dalam filsafat. Namun kekuatan pendekatan Descartes ternyata juga mencerminkan kelemahannya. Filsafatnya tidak memberikan argumen yang cukup memadai tentang hubungan antara pikiran dan realitas fisik di luarnya.
Seperti sudah disinggung pada bab sebelumnya tentang metode skeptisisme, Hume adalah filsuf yang dengan keras mengajukan kritik kepada Descartes. Hume menolak mengakui adanya relasi sebab akibat yang nyata di dalam realitas. Ia juga menolak argumen, bahwa kita bisa sungguh sampai pada pengetahuan yang benar tentang realitas. Kant kemudian mencoba mengajukan kritik terhadap Hume dengan berargumen, bahwa pengetahuan yang tepat tentang dunia fisik itu mungkin, karena struktur akal budi internal manusia memungkinkan itu terjadi. Struktur akal budi internal itu disebut juga sebagai subyektivitas (subjectivity). Walaupun begitu Kant tidak menjadikan subyektivitas hanya sebagai titik awal yang sifatnya kontemplatif, seperti pada filsafat Descartes. Sebaliknya pada Kant konsep subyektivitas lebih bersifat aktif di dalam membentuk pengetahuan tentang dunia luar. Dalam arti ini tidaklah berlebihan jika dikatakan, bahwa dunia bisa ada karena diketahui oleh manusia. Tanpa manusia tidak ada dunia.[9]
Inilah yang disebut Krasnoff sebagai konsep subyektivitas yang bersifat idealistik (idealist conception of subjectivity). Konsep subyek di dalam Kant melampaui konsep subyek di dalam filsafat Descartes, yang cenderung bersifat kontemplatif dan pasif semata. Dalam arti ini konsep subyek Kant dapat juga disebut konsep subyek yang aktif (active subject), terutama jika diperlawankan dengan konsep subyek di dalam filsafat Descartes yang cenderung pasif. Bagi Kant akal budi adalah fakultas di dalam diri manusia yang berfungsi untuk membentuk ide. Ide itu sendiri berasal sekaligusmelampaui pengalaman inderawi.
Salah satu yang menjadi acuan Kant adalah ide kebebasan (the idea of freedom). Ide kebebasan tidak pernah bisa dipahami secara empiris. Oleh karena itu pengetahuan manusia tentang kebebasan memiliki bentuk yang berbeda, jika dibandingkan dengan pengetahuan manusia mengetahui benda-benda fisik, seperti meja, kursi, mobil, dan sebagainya. “Akan tetapi dengan alasan ini,” demikian Krasnoff, “kita tidak dapat mengatakan bahwa ide kebebasan tidak mempunyai kenyataan..”[10] Artinya adalah walaupun tidak memiliki dasar empiris-fisik, dan tidak bisa menjadi obyek pengetahuan langsung manusia, ide kebebasan tetap dapat dipahami oleh manusia, walaupun dengan cara lain. Bagi Kant ide kebebasan sudah selalu diandaikan di dalam tindakan moral manusia sebagai mahluk yang rasional. Jika tidak diandaikan maka tindakan moral menjadi tidak mungkin. Sementara faktanya tindakan moral, seperti berbuat baik, itu mungkin, maka kebebasan pun tidak bisa dibantah keberadaannya.
Filsafat Hegel dapat dianggap sebagai suatu upaya untuk melampaui konsep subyek di dalam filsafat Kant maupun Descartes. Seperti sudah disinggung sebelumnya, Hegel sangat mengagumi Revolusi Perancis. Filsafatnya sendiri tidak bisa dilepaskan dari momen bersejarah tersebut. Di dalamnya ia melihat dorongan kekuatan kebebasan dari subyek untuk melawan semua bentuk kekuatan yang mengekangnya.
Tentu saja banyak filsuf berharap supaya kekuatan kebebasan ini dapat diarahkan pada sesuatu yang sifatnya positif, seperti untuk perkembangan ilmu pengetahuan dan moralitas misalnya. Akan tetapi seperti ditegaskan oleh Krasnoff, subyek yang bebas berarti ia tidak bisa ditentukan tindakan ataupun pilihannya ke depan. Jika ia bisa ditentukan, maka ia tidaklah bebas. Konsep subyek pada filsafat Descartes terjebak pada dirinya sendiri. Subyek menjadi koheren secara konseptual, namun tidak bisa diterapkan dalam konteks kehidupan nyata. Sementara subyek moral Kantian, yang menempatkan kebebasan sebagai pengandaian, tidak bisa dipastikan akan melulu bertindak secara moral.
Hegel sendiri sebenarnya banyak sependapat dengan Kant. Namun begitu Hegel ingin menyelamatkan konsep subyek dari isolasi, seperti yang dialami konsep subyek di dalam filsafat Descartes. Hegel setuju bahwa subyektivitas manusia itu sifatnya aktif dan kreatif, serta mampu menolak semua tekanan dari luar. Setelah subyek melampaui semua kekangan yang menghambatnya, ia kemudian menjadi sadar diri (self-conscious), yakni sadar akan kesalahan dari tindakan ataupun pilihannya. Di dalam proses menyadari dirinya sendiri ini, subyek kemudian semakin mengetahui dan memahami dirinya sendiri (self-knowledge).
Proses subyek untuk mengenali dirinya sendiri ini, menurut Hegel, mirip seperti pertarungan melawan dan bersama kematian itu sendiri (struggle with and against death). Kebebasan manusia sebagai subyek paling tampak di dalam kebebasannya menghadapi kematian. Selain itu kebebasan subyek paling tampak di dalam penegasan dirinya menghadapi tekanan sosial (social pressure). Namun begitu pernyataan terakhir tampak mengandung setitik kontradiksi. Bukankah lingkungan sosial yang memberikan arti dan makna bagi kehidupan seseorang? Dan bukankah seperti yang dikatakan oleh Heidegger dengan lugas, bahwa kematianlah yang memberikan makna bagi kehidupan manusia? Dalam arti ini subyek selalu berada dalam tegangan untuk menjadi bebas di satu sisi, dan untuk mengikat dirinya pada komunitas sosialnya.[11] Ia juga selalu berada dalam tegangan antara dorongan untuk memaknai hidup yang ada, dan kecemasan di dalam menghadapi kematian. Di dalam tegangan itulah subyek menyadari dirinya sendiri (self-realizing).
Hegel dan Dialektika[12]
Metode dialektik Hegel terdiri dari tiga tahap. Yang pertama adalah tesis, yakni membangun suatu pernyataan tertentu. Yang kedua adalah antitesis, yakni suatu pernyataan argumentatif yang menolak tesis. Dan yang ketiga adalah sintesis, yakni upaya untuk mendamaikan tegangan antara tesis dan antitesis. Biasanya para ahli mengaitkan konsep dialektika ini dengan filsafat Hegel, walaupun Hegel sendiri tidak pernah secara eksplisit menyatakan argumennya melalui konsep tesis, antitesis, dan sintesis. Sebaliknya Hegel justru menyatakan, bahwa ia mendapatkan argumen itu dari filsafat Kant. Lepas dari itu metode dialektik memang nantinya menjadi sangat populer di tangan para filsuf Idealisme Jerman, terutama di dalam pemikiran Hegel.
Di dalam tulisan-tulisannya, Hegel memang tidak secara langsung menggunakan konsep tesis-antitesis-sintesis. Namun ia menggunakan logika yang kurang lebih sama di dalam tulisan-tulisannya. Ia kerap kali menggunakan konsep abstrak-negatif-konkret (abstract-negative-concrete) untuk melukiskan cara berpikir dialektisnya tentang realitas. Beberapa kali ia menggunakan kata langsung-tidak langsung-konkret (immediate-mediated-conrete). Hegel memang menggunakan kata-kata yang berbeda untuk menegaskan metode berpikir dialektis yang digunakannya di dalam seluruh sistem filsafatnya. Coba kita bedah hal ini secara lebih mendalam.
Di dalam rumusan tesis-antitesis-sintesis, kita tidak bisa mengerti secara logis mengapa tesis terkait dengan antitesis. Yang dikatakan oleh para komentator Hegel hanyalah di dalam tesis sudah langsung termuat antitesis. Namun apa sesungguhnya arti dari argumen itu? Coba kita lihat rumusan Hegel abstrak-negatif-konkret. Di dalam rumusan itu sudah diandaikan, bahwa tesis, yakni abstrak, memiliki kelemahan, yakni bahwa ia belum diuji di dalam realitas. Konsep abstrak belum memiliki aspek pengalaman, dan belum teruji di dalam kerasnya realitas. Di dalam tahap negatif, yang merupakan level antitesis, apa yang abstrak tadi diceburkan ke dalam realitas, dan berinteraksi dengan negativitas yang seringkali muncul di dalam pengalaman. Baru setelah itu abstrak dan negatif mengelami sintesis, dan menjadi konkret. Level konkret baru bisa dicapai, jika level negatif dan abstrak sudah dilampaui. Inilah esensi dari metode dialektis yang dapat ditemukan di dalam seluruh filsafat Hegel.
Untuk menggambarkan konsep pelampauan negatif dan abstrak itu, Hegel menggunakan konsep Aufhebung, yang berarti ‘melampaui’ (overcoming). Secara kasar konsep melampaui itu bisa dianggap sebagai suatu upaya untuk menerjang batas-batas konsep yang ada sebelumnya, sambil tetap mengambil sisi positifnya yang tertinggal. Di dalam bukunya yang berjudul Ilmu Logika(Science of Logic), Hegel mencoba melukiskan proses dialektika untuk memahami keberadaan manusia. Keberadaan manusia pada awalnya adalah Ada (Being). Namun ada-murni (pure being) ternyata tidak dapat dibedakan dengan ketiadaan (Nothing). Sesuatu yang keberadaanya bersifat murni, yakni tidak tergantung pada realitas inderawi, juga secara logis dapat disamakan dengan tidak ada. Di dalam proses ada-murni, yang juga berarti ketiadaan, akan melampaui batas-batasnya sendiri, dan kemudian bersatu di dalam ‘menjadi’ (becoming). Di dalam kosa kata teori dialektika Hegel, ada-murni adalah tesis. Ketiadaan adalah antitesis dari ada-murni. Dan menjadi (becoming) adalah sintesis dari ada-murni dan ketiadaan.
Metode dialektika Hegel juga memiliki unsur kontradiksi yang sangat kuat. Baginya setiap tahap perkembangan realitas, mulai dari tesis, antitesis, dan sintesis, muncul dari kontradiksi yang kuat di dalam tahap sebelumnya. Seluruh sejarah dunia adalah sejarah dialektika dan kontradiksi. Dahulu kala pemerintahan yang ideal adalah pemerintahan monarki absolut dengan menjadikan satu raja sebagai acuan utama politik. Monarki absolut tersebut didasarkan pada dua asumsi, yakni legalitas perbudakan untuk memperoleh tenaga kerja manusia murah, dan asumsi bahwa rakyat adalah orang bodoh yang tidak mampu memimpin ataupun membuat keputusan untuk dirinya sendiri. Cara pandang itu mengalami kontradiksi, karena jika asumsi itu terwujud, maka negara justru tidak akan berkembang. Sekarang ini bentuk pemerintahan ideal adalah demokrasi dengan mengacu pada warga negara yang bebas dan cerdas.
Dari contoh di atas dapatlah disimpulkan, bahwa kontradiksi tidaklah muncul dari luar tesis, melainkan justru dari dalamnya. Di dalam konsep monarki absolut sebagai acuan filsafat politik, sudah ada ‘anti’ dari monarki absolut itu sendiri. Antitesis sudah selalu terkandung di dalam tesis. Dan sintesis sudah selalu terkandung di dalam tesis dan antitesis. Dalam bahasa Hegel di dalam Ilmu Logika, di dalam Ada dan Ketiadaan sudah selalu terkandung ‘menjadi’. Lalu apa sebenarnya tujuan dari metode dialektika ini?
Tujuan dasar dari dialektika adalah untuk menganalisis realitas pada dirinya sendiri, seturut geraknya sendiri, dan untuk memahami itu semua dalam terang akal budi. Konsep inti di dalam metode dialektika Hegel adalah negasi atas negasi (negation of the negation), atau yang ia sebut juga sebagaiAufhebung. Konsep ini diawali dengan sebuah premis sederhana, bahwa segala sesuatu menjadi apa adanya, karena selalu berada di dalam relasi dengan yang lainnya, yang bukan sesuatu itu. Meja bisa ada dan diketahui oleh manusia, karena ada segala sesuatu yang bukan meja,. Meja menegasi segala sesuatu yang bukan meja, sehingga ia menjadi dirinya sendiri.
Hegel mau mengajarkan kita untuk melihat realitas sebagai suatu proses. Proses tersebut melewati tahap-tahap tertentu yang kelihatannya penuh dengan negativitas. Namun negativitas itu sebenarnya merupakan antitesis yang nantinya akan ‘melampaui’ tesis dan antitesis sebelumnya. Seluruh realitas menurut Hegel bergerak dengan pola itu. Dan pada akhir sejarah, realitas akan mengalami sintesis absolut. Itulah akhir sejarah menurut Hegel. Seluruh proses ini disebutnya sebagai dialektika, dan unsur penting dari dialektika itu adalah kontradiksi dan negasi. Kontradiksi dan negasi itu memiliki unsur negativitas yang kuat, namun diperlukan untuk perkembangan realitas menuju sintesis absolut.***







0 comments:

Post a Comment

handapeunpost