Metode di dalam Filsafat Hegel
Pada
bab sebelumnya saya sudah menjabarkan garis besar proyek filsafat kritis
Immanuel Kant. Inti dari metode berpikir yang diajarkan Kant adalah pencarian
kondisi-kondisi kemungkinan dari pengetahuan manusia, dan pencarian dasar
rasional dari fenomena yang hendak diteliti. Filsafat Kant sangat mempengaruhi
para filsuf setelahnya. Salah satu filsuf yang sangat dipengaruhi oleh Kant,
namun juga melakukan kritik tajam terhadap Kant, adalah Hegel. Pada bab ini
saya ingin mengajak anda mencecap sedikit gaya berpikir Hegel, terutama yang
terkait dengan metodenya untuk memahami realitas. Sebagai pendasaran saya
menggunakan teks tulisan Larry Krasnoff yang berjudul Hegel’s
Phenomenology of Spirit.[1] Pertanyaan
pertama yang layak diajukan adalah, apa sebenarnya latar belakang filsafat
Hegel?
Latar
Belakang
Dunia
kita sekarang ini sangat dipengaruhi oleh peradaban Eropa utara yang berkembang
sejak 4 abad yang lalu. Pada tahun-tahun itu, Eropa telah berubah dari sebuah
peradaban yang sangat bernuansa religius menjadi peradaban yang mengedepankan
ilmu pengetahuan, militer, dan filsafat. Tiga hal itu mendorong terciptanya
sebuah peradaban terbesar sepanjang sejarah manusia, yang kini pengaruhnya bisa
dirasakan di seluruh dunia. Para filsuf menamakan gejala perkembangan pesat itu
sebagai modernitas (modernity). Mengapa modernitas bisa terjadi, dan
bagaimana prosesnya?
Sampai
sekarang para filsuf dan sejarahwan masih mencari jawaban yang paling tepat
atas pertanyaan itu. Namun menurut penelitian Krasnoff, penelitian para ahli
biasanya terpusat pada peristiwa-peristiwa khusus tertentu, seperti Reformasi
Protestan, perkembangan fisika modern melalui penemuan Galileo dan Newton,
penemuan dan penaklukan benua Amerika, perdagangan bebas, kapitalisme, serta
Revolusi Amerika dan Perancis. Apa sebenarnya dampak langsung dari
peristiwa-peristiwa itu, sehingga pada akhirnya bisa mendorong terjadinya
proses modernisasi?
Menurut
Krasnoff jawaban atas pertanyaan itu terletak pada perubahan paradigma (paradigm
change) di dalam memandang realitas. Alam dipandang sebagai alam obyektif
yang bisa dipelajari dan digunakan untuk sepenuhnya kepentingan manusia. Agama
dipandang bukan lagi sebagai urusan bersama, tetapi sebagai urusan privat.
Agama dipisahkan dari urusan negara, dan didorong ke pinggir kehidupan politik.
Politik pun tidak lagi didefinisikan
sebagai upaya meraih kekuasaan sebesar mungkin untuk memperkaya diri, melainkan
sebagai alat untuk menjaga dan mengembangkan hak-hak asasi manusia serta hak
politik untuk memilih siapa yang berkuasa secara demokratis. Tiga pandangan itu
kini sudah menyebar ke seluruh dunia, dan menjadi paradigma yang dominan. Namun
sekarang ini banyak pemikir yang mempertanyakan, apakah modernitas adalah
satu-satunya paradigma kehidupan yang bisa digunakan? Apakah tidak ada
alternatif?
Ada beberapa alternatif yang kiranya
mungkin terjadi, seperti pemerintahan totaliter, baik atas nama agama ataupun
ras dominan, masyarakat mistik yang menghormati alam namun lupa memanfaatkannya
untuk kepentingan manusia, serta masyarakat tertutup yang menutup kesamaan
mutlak, tanpa menghormati perbedaan maupun hak-hak asasi manusia sedikitpun.
Dalam arti ini seperti yang pernah ditulis Magnis-Suseno, demokrasi, yang
merupakan esensi politik modernitas, adalah pilihan terbaik di antara semua
alternatif yang ada. Tidak hanya itu menurut Winston Churchill, perdana menteri
Inggris pada saat perang dunia kedua, demokrasi adalah bentuk politik terbaik
dibanding bentuk-bentuk politik lainnya yang pernah dicoba di dalam sejarah
manusia.
Apakah modernitas adalah sesuatu yang baik
secara moral? Bagi Krasnoff pertanyaan itu tidaklah relevan. Itu seperti
bertanya apakah oksigen itu baik untuk manusia atau tidak? Tentu saja setiap
orang membutuhkannya. Dan orang tidak memiliki kemungkinan untuk memilih yang
lain. Tidak hanya itu menurut Krasnoff, pertanyaan tentang apakah modernitas
baik secara moral adalah pertanyaan yang problematis, karena modernitas telah
merasuki sendi-sendi kehidupan masyarakat jaman sekarang sebegitu mendalam dan
meluas. Setiap orang terpengaruh dengan caranya masing-masing. Setiap orang
juga memaknainya dengan caranya sendiri-sendiri. Efek dari modernitas tidak
bisa direduksi hanya dalam satu hal saja.
Lalu apakah modernitas memiliki sisi
buruk? Menurut Krasnoff sisi negatif dari modernitas terletak pada sisi ekonomi
dan teknologinya. Yang pertama adalah kecenderungan modernitas untuk menerapkan
paham kapitalisme secara berlebihan. Akibatnya adalah manusia dikorbankan dan
dieksploitasi atas nama pengumpulan keuntungan dan modal yang lebih tinggi
lagi. Teknologi membuat manusia menjadi tidak manusiawi. Hubungan manusia tidak
lagi dilandasi ketulusan, melainkan melulu hubungan kebutuhan yang sifatnya
instrumental, material, dan dangkal. Teknologi juga menghasilkan limbah yang
pada akhirnya merusak ekosistem. Krisis global warming yang kita alami secara
global sekarang ini adalah hasil dari penggunaan teknologi yang kelewat batas,
dan akhirnya menghancurkan alam. Secara kultural modernitas juga seringkali
meremehkan budaya-budaya lokal partikular yang memiliki cara berpikir berbeda.
Hal ini tampak jelas di dalam arogansi negara-negara Eropa dan Amerika, ketika
berhadapan dengan negara-negara Asia dan Afrika.
Lalu apa sisi positif dari modernitas?
Menurut Krasnoff sisi positif modernitas paling tampak pada aspek moral dan
politik. Secara khusus modernitas mengedepankan dan mengembangkan kebebasan
manusia sebagai individu. Pada masa sebelumnya cara berpikir dan pilihan
manusia dibatasi oleh kelas sosial, tradisi, dan agama. Namun dengan
berkembangnya modernitas, manusia mulai menemukan dan berani mengedepankan
kebebasannya. Dalam soal agama setiap orang berhak memutuskan agama apa yang
mereka peluk. Tidak hanya itu setiap orang juga berhak mengekspresikan keyakinan
agamanya, sejauh itu tidak melanggar kebebasan orang lain. Dalam hal politik
setiap orang bebas untuk memilih penguasa manakah yang layak memerintah di
sebuah negara. Dalam hal ekonomi setiap orang bebas untuk mengumpulkan harta
kekayaan, sejauh dalam batas-batas hukum. Dan dalam hal budaya, setiap orang
berhak hidup dengan caranya masing-masing, sejauh itu masih berada dalam
batas-batas hukum dan tidak melanggar kebebasan orang lain.
Apakah sisi-sisi positif tersebut sungguh
terwujud nyata di dalam realitas? Tentu saja di dalam kenyataan, tidak ada
satupun dari cita-cita ideal tersebut terwujud secara sempurna. Kebebasan
manusia masih saja dikungkung oleh kekuatan-kekuatan budaya, ekonomi, dan
politik yang tak terbendung oleh aspirasinya terhadap kebebasan. Namun seperti
yang berulang kali ditulis oleh B. Herry Priyono di dalam berbagai tulisannya,
cita-cita tidak akan lenyap hanya karena belum terwujud di dalam realitas,
begitu pula cita-cita modernitas tentang kebebasan harus menjadi tujuan utama
dari semua praktek politik, ekonomi, agama, dan budaya sekarang ini.
Lalu apa arti pembicaraan tentang
modernitas tersebut dengan Hegel, tokoh kita pada bab ini? Pada hemat Krasnoff
cita-cita modernitas tentang kebebasan terasa paling kental merasuk di dalam
seluruh tubuh filsafat Hegel. Tulisan-tulisan Hegel menggambarkan
bagaimana roh absolut bergerak di dalam sejarah untuk sampai pada kebebasan.
Namun mengapa Hegel menjadikan tema kebebasan, yang merupakan esensi
modernitas, di dalam filsafatnya? Menurut penelitian yang dilakukan Krasnoff,
Hegel memilih kebebasan sebagai tema utama filsafatnya, karena ia pertama-tama
terpesona oleh revolusi Perancis. Sebagai seorang pemuda yang lahir pada 1770,
ia terpana oleh gelora kebebasan yang mewujud secara nyata di dalam revolusi
Perancis.
Mengapa ia begitu terpesona dengan
cita-cita kebebasan? Untuk menjawab ini kita perlu sedikit mengetahui latar
belakang historis Hegel sebagai seorang pribadi. Ia adalah seorang anak pegawai
negeri sipil rendahan dari Stuttgart. Walaupun miskin namun Hegel sangat
cerdas. Pada 1788 ia masuk seminari (sekolah pendidikan calon imam di dalam
Agama Katolik) di Universitas Tuebingen. Di sana ia bertemu dengan Friedrich
Schelling (juga seorang filsuf Idealis Jerman yang cukup ternama) dan menjalin
persahabatan dengannya. Schelling dan Hegel kini dikenal sebagai para filsuf
Idealisme Jerman. Secara singkat Idealisme Jerman adala paham filsafat yang
berpendapat, bahwa realitas bukanlah material secara hakiki, melainkan bentukan
dari konsep-konsep rasional yang terletak di dalam pikiran manusia.
Konsep-konsep tersebut seperti aku murni, roh absolut, non-aku, dan sebagainya.
Idealisme Jerman berkembang pada abad ke-18 di Jerman, namun pengaruhnya masih
sangat terasa hingga sekarang ini.
Masa Hegel hidup adalah masa yang penuh
dengan tantangan. Revolusi Perancis dengan cita-cita kebebasan, persamaan, dan
persaudaraan mengguncang tatanan monarki feodal sebelumnya. Walaupun pada masa
itu Perancis adalah tempat yang penuh dengan gejolak, namun Jerman, tempat
Hegel lahir dan tumbuh, tetap stabil seolah tidak terjadi apa-apa. Universitas
Tübingen seolah tetap steril, jauh dari gejolak yang ditimbulkan oleh Revolusi
Perancis dan gerakan filsafat Pencerahan. Memang pada waktu itu, Tübingen
adalah universitas yang konservatif. Teks-teks filsafat Pencerahan yang kental
dengan ide otonomi dan kebebasan individu dilarang untuk disebarkan. Tentu saja
Hegel tidak mematuhi aturan yang aneh itu. Masalah yang langsung dihadapinya
adalah, bagaimana menerapkan cara berpikir modern yang ditimbanya dari para
filsuf Pencerahan di Jerman, yang pada masa itu relatif masih merupakan
masyarakat tradisional?
Pada
masa yang sama, Inggris dan Perancis sudah menjelma menjadi negara modern. Di
negara-negara itu, kebebasan sudah mulai menjadi bagian dari kehidupan individu
dan kehidupan sosial. Sebaliknya di Jerman orang berkumpul untuk berdiskusi
soal filsafat Pencerahan pun kerap kali harus berbenturan dengan otoritas
pemerintah. Dengan kata lain dapatlah dikatakan, bahwa pada masa itu, Jerman
masih merupakan negara terbelakang. Namun Hegel akibat membaca secara intensif
tulisan-tulisan Rousseau dan Kant berhasil menerobos keterbelakangan itu, dan
akhirnya merumuskan filsafatnya sendiri secara kreatif.[6]
Menurut
Krasnoff prinsip utama di dalam filsafat Hegel adalah subyektivitas (subjectivity).
Hal ini menjadi jelas, jika orang berusaha membaca karyamagnum opus Hegel
yang berjudulPhenomenology of Spirit. Hegel sendiri mengatakan tujuan
filsafatnya adalah untuk menggengam (grasp) dan mengekspresikan (express) subyektivitas.[7] Artinya adalah tujuan dari suatu
refleksi filosofis adalah untuk memahami karakter dasariah dari subyektivitas
manusia. Tidak hanya itu filsafat pun sebenarnya adalah ekspresi dari
subyektivitas manusia itu sendiri. Namun bentuk ekspresi yang bagaimana? Apa
sebenarnya hakekat (nature) dari subyektivitas, dan bagaimana filsafat bisa
mengekspresikannya?[8]
Subyektivitas
di dalam Filsafat Hegel
Di
dalam filsafat tema subyektivitas adalah tema yang sudah berumur ratusan tahun,
jauh sebelum masa hidup Hegel. Para filsuf modern seperti Kant dan Descartes
merefleksikannya secara sistematis dan mendalam. Namun menurut Hegel refleksi
filsafat tentang subyektivitas di dalam filsafat Kant maupun Descartes masih
terjebak pada kesalahpahaman dan inkoherensi. Seperti yang ditulis oleh
Krasnoff, bagi Descartes, subyektivitas adalah konsep yang bersifat
kontemplatif. Fungsi konsep itu sendiri semata-mata hanya sebagai titik awal (starting
point) untuk memberikan kepastian metodologis (methodological certainty).
Tidak ada kepastian apakah pikiranku memiliki hubungan langsung dengan
realitas. Yang pasti adalah bahwa aku sedang berpikir (I am thinking),
dan pikiran itu selalu mengarah pada sesuatu. Aku tidak pernah berpikir kosong,
karena aku selalu berpikir tentang sesuatu.
Namun
menurut Krasnoff jika pikiran adalah soal individu subyektif semata, maka tidak
ada kemungkinan untuk menilai, apakah pikiran itu tepat atau tidak. Jika
argumen ini benar, lalu bagaimana hubungan antara pikiran, konsep, dan dunia
fisik eksternal? Ini adalah pertanyaan yang langsung menjatuhkan seluruh sistem
Cartesian. Bagi Descartes hubungan pikiran dengan dunia luar terletak pada
fakta, bahwa Tuhan itu ada, dan Ia tidak mungkin menipu kita. Tentu saja
argumen ini sama sekali tidak kuat, dan bahkan terkesan sangat dogmatis. Yang
ingin dicapai Descartes adalah keketatan berpikir metodis di dalam filsafat.
Namun kekuatan pendekatan Descartes ternyata juga mencerminkan kelemahannya.
Filsafatnya tidak memberikan argumen yang cukup memadai tentang hubungan antara
pikiran dan realitas fisik di luarnya.
Seperti
sudah disinggung pada bab sebelumnya tentang metode skeptisisme, Hume adalah
filsuf yang dengan keras mengajukan kritik kepada Descartes. Hume menolak
mengakui adanya relasi sebab akibat yang nyata di dalam realitas. Ia juga
menolak argumen, bahwa kita bisa sungguh sampai pada pengetahuan yang benar
tentang realitas. Kant kemudian mencoba mengajukan kritik terhadap Hume dengan
berargumen, bahwa pengetahuan yang tepat tentang dunia fisik itu mungkin,
karena struktur akal budi internal manusia memungkinkan itu terjadi. Struktur
akal budi internal itu disebut juga sebagai subyektivitas (subjectivity).
Walaupun begitu Kant tidak menjadikan subyektivitas hanya sebagai titik awal
yang sifatnya kontemplatif, seperti pada filsafat Descartes. Sebaliknya pada
Kant konsep subyektivitas lebih bersifat aktif di dalam membentuk pengetahuan
tentang dunia luar. Dalam arti ini tidaklah berlebihan jika dikatakan, bahwa dunia
bisa ada karena diketahui oleh manusia. Tanpa manusia tidak ada dunia.[9]
Inilah
yang disebut Krasnoff sebagai konsep subyektivitas yang bersifat idealistik (idealist
conception of subjectivity). Konsep subyek di dalam Kant melampaui konsep
subyek di dalam filsafat Descartes, yang cenderung bersifat kontemplatif dan
pasif semata. Dalam arti ini konsep subyek Kant dapat juga disebut konsep
subyek yang aktif (active subject), terutama jika diperlawankan dengan
konsep subyek di dalam filsafat Descartes yang cenderung pasif. Bagi Kant akal
budi adalah fakultas di dalam diri manusia yang berfungsi untuk membentuk ide.
Ide itu sendiri berasal sekaligusmelampaui pengalaman inderawi.
Salah
satu yang menjadi acuan Kant adalah ide kebebasan (the idea of freedom).
Ide kebebasan tidak pernah bisa dipahami secara empiris. Oleh karena itu
pengetahuan manusia tentang kebebasan memiliki bentuk yang berbeda, jika
dibandingkan dengan pengetahuan manusia mengetahui benda-benda fisik, seperti
meja, kursi, mobil, dan sebagainya. “Akan tetapi dengan alasan ini,” demikian
Krasnoff, “kita tidak dapat mengatakan bahwa ide kebebasan tidak mempunyai
kenyataan..”[10] Artinya
adalah walaupun tidak memiliki dasar empiris-fisik, dan tidak bisa menjadi
obyek pengetahuan langsung manusia, ide kebebasan tetap dapat dipahami oleh
manusia, walaupun dengan cara lain. Bagi Kant ide kebebasan sudah selalu
diandaikan di dalam tindakan moral manusia sebagai mahluk yang rasional. Jika
tidak diandaikan maka tindakan moral menjadi tidak mungkin. Sementara faktanya
tindakan moral, seperti berbuat baik, itu mungkin, maka kebebasan pun tidak
bisa dibantah keberadaannya.
Filsafat
Hegel dapat dianggap sebagai suatu upaya untuk melampaui konsep subyek di dalam
filsafat Kant maupun Descartes. Seperti sudah disinggung sebelumnya, Hegel
sangat mengagumi Revolusi Perancis. Filsafatnya sendiri tidak bisa dilepaskan
dari momen bersejarah tersebut. Di dalamnya ia melihat dorongan kekuatan
kebebasan dari subyek untuk melawan semua bentuk kekuatan yang mengekangnya.
Tentu
saja banyak filsuf berharap supaya kekuatan kebebasan ini dapat diarahkan pada
sesuatu yang sifatnya positif, seperti untuk perkembangan ilmu pengetahuan dan
moralitas misalnya. Akan tetapi seperti ditegaskan oleh Krasnoff, subyek yang
bebas berarti ia tidak bisa ditentukan tindakan ataupun pilihannya ke depan.
Jika ia bisa ditentukan, maka ia tidaklah bebas. Konsep subyek pada filsafat
Descartes terjebak pada dirinya sendiri. Subyek menjadi koheren secara
konseptual, namun tidak bisa diterapkan dalam konteks kehidupan nyata.
Sementara subyek moral Kantian, yang menempatkan kebebasan sebagai pengandaian,
tidak bisa dipastikan akan melulu bertindak secara moral.
Hegel
sendiri sebenarnya banyak sependapat dengan Kant. Namun begitu Hegel ingin
menyelamatkan konsep subyek dari isolasi, seperti yang dialami konsep subyek di
dalam filsafat Descartes. Hegel setuju bahwa subyektivitas manusia itu sifatnya
aktif dan kreatif, serta mampu menolak semua tekanan dari luar. Setelah subyek
melampaui semua kekangan yang menghambatnya, ia kemudian menjadi sadar diri (self-conscious),
yakni sadar akan kesalahan dari tindakan ataupun pilihannya. Di dalam proses
menyadari dirinya sendiri ini, subyek kemudian semakin mengetahui dan memahami
dirinya sendiri (self-knowledge).
Proses
subyek untuk mengenali dirinya sendiri ini, menurut Hegel, mirip seperti
pertarungan melawan dan bersama kematian itu
sendiri (struggle with and against death). Kebebasan manusia sebagai
subyek paling tampak di dalam kebebasannya menghadapi kematian. Selain itu
kebebasan subyek paling tampak di dalam penegasan dirinya menghadapi tekanan
sosial (social pressure). Namun begitu pernyataan terakhir tampak
mengandung setitik kontradiksi. Bukankah lingkungan sosial yang memberikan arti
dan makna bagi kehidupan seseorang? Dan bukankah seperti yang dikatakan oleh
Heidegger dengan lugas, bahwa kematianlah yang memberikan makna bagi kehidupan
manusia? Dalam arti ini subyek selalu berada dalam tegangan untuk menjadi bebas
di satu sisi, dan untuk mengikat dirinya pada komunitas sosialnya.[11] Ia juga selalu berada dalam tegangan
antara dorongan untuk memaknai hidup yang ada, dan kecemasan di dalam
menghadapi kematian. Di dalam tegangan itulah subyek menyadari dirinya sendiri
(self-realizing).
Hegel
dan Dialektika[12]
Metode
dialektik Hegel terdiri dari tiga tahap. Yang pertama adalah tesis, yakni
membangun suatu pernyataan tertentu. Yang kedua adalah antitesis, yakni suatu
pernyataan argumentatif yang menolak tesis. Dan yang ketiga adalah sintesis,
yakni upaya untuk mendamaikan tegangan antara tesis dan antitesis. Biasanya
para ahli mengaitkan konsep dialektika ini dengan filsafat Hegel, walaupun
Hegel sendiri tidak pernah secara eksplisit menyatakan argumennya melalui
konsep tesis, antitesis, dan sintesis. Sebaliknya Hegel justru menyatakan,
bahwa ia mendapatkan argumen itu dari filsafat Kant. Lepas dari itu metode
dialektik memang nantinya menjadi sangat populer di tangan para filsuf
Idealisme Jerman, terutama di dalam pemikiran Hegel.
Di
dalam tulisan-tulisannya, Hegel memang tidak secara langsung menggunakan konsep
tesis-antitesis-sintesis. Namun ia menggunakan logika yang kurang lebih sama di
dalam tulisan-tulisannya. Ia kerap kali menggunakan konsep
abstrak-negatif-konkret (abstract-negative-concrete) untuk melukiskan
cara berpikir dialektisnya tentang realitas. Beberapa kali ia menggunakan kata
langsung-tidak langsung-konkret (immediate-mediated-conrete). Hegel
memang menggunakan kata-kata yang berbeda untuk menegaskan metode berpikir
dialektis yang digunakannya di dalam seluruh sistem filsafatnya. Coba kita
bedah hal ini secara lebih mendalam.
Di
dalam rumusan tesis-antitesis-sintesis, kita tidak bisa mengerti secara logis
mengapa tesis terkait dengan antitesis. Yang dikatakan oleh para komentator
Hegel hanyalah di dalam tesis sudah langsung termuat antitesis. Namun apa
sesungguhnya arti dari argumen itu? Coba kita lihat rumusan Hegel
abstrak-negatif-konkret. Di dalam rumusan itu sudah diandaikan, bahwa tesis,
yakni abstrak, memiliki kelemahan, yakni bahwa ia belum diuji di dalam
realitas. Konsep abstrak belum memiliki aspek pengalaman, dan belum teruji di
dalam kerasnya realitas. Di dalam tahap negatif, yang merupakan level
antitesis, apa yang abstrak tadi diceburkan ke dalam realitas, dan berinteraksi
dengan negativitas yang seringkali muncul di dalam pengalaman. Baru setelah itu
abstrak dan negatif mengelami sintesis, dan menjadi konkret. Level konkret baru
bisa dicapai, jika level negatif dan abstrak sudah dilampaui. Inilah esensi
dari metode dialektis yang dapat ditemukan di dalam seluruh filsafat Hegel.
Untuk
menggambarkan konsep pelampauan negatif dan abstrak itu, Hegel menggunakan
konsep Aufhebung, yang berarti ‘melampaui’ (overcoming).
Secara kasar konsep melampaui itu bisa dianggap sebagai suatu upaya untuk
menerjang batas-batas konsep yang ada sebelumnya, sambil tetap mengambil sisi
positifnya yang tertinggal. Di dalam bukunya yang berjudul Ilmu Logika(Science
of Logic), Hegel mencoba melukiskan proses dialektika untuk memahami
keberadaan manusia. Keberadaan manusia pada awalnya adalah Ada (Being).
Namun ada-murni (pure being) ternyata tidak dapat dibedakan dengan
ketiadaan (Nothing). Sesuatu yang keberadaanya bersifat murni, yakni
tidak tergantung pada realitas inderawi, juga secara logis dapat disamakan dengan
tidak ada. Di dalam proses ada-murni, yang juga berarti ketiadaan, akan
melampaui batas-batasnya sendiri, dan kemudian bersatu di dalam ‘menjadi’ (becoming).
Di dalam kosa kata teori dialektika Hegel, ada-murni adalah tesis. Ketiadaan
adalah antitesis dari ada-murni. Dan menjadi (becoming) adalah sintesis
dari ada-murni dan ketiadaan.
Metode
dialektika Hegel juga memiliki unsur kontradiksi yang sangat kuat. Baginya
setiap tahap perkembangan realitas, mulai dari tesis, antitesis, dan sintesis,
muncul dari kontradiksi yang kuat di dalam tahap sebelumnya. Seluruh sejarah
dunia adalah sejarah dialektika dan kontradiksi. Dahulu kala pemerintahan yang
ideal adalah pemerintahan monarki absolut dengan menjadikan satu raja sebagai
acuan utama politik. Monarki absolut tersebut didasarkan pada dua asumsi, yakni
legalitas perbudakan untuk memperoleh tenaga kerja manusia murah, dan asumsi
bahwa rakyat adalah orang bodoh yang tidak mampu memimpin ataupun membuat
keputusan untuk dirinya sendiri. Cara pandang itu mengalami kontradiksi, karena
jika asumsi itu terwujud, maka negara justru tidak akan berkembang. Sekarang
ini bentuk pemerintahan ideal adalah demokrasi dengan mengacu pada warga negara
yang bebas dan cerdas.
Dari
contoh di atas dapatlah disimpulkan, bahwa kontradiksi tidaklah muncul dari
luar tesis, melainkan justru dari dalamnya. Di dalam konsep monarki absolut
sebagai acuan filsafat politik, sudah ada ‘anti’ dari monarki absolut itu
sendiri. Antitesis sudah selalu terkandung di dalam tesis. Dan sintesis sudah
selalu terkandung di dalam tesis dan antitesis. Dalam bahasa Hegel di dalam
Ilmu Logika, di dalam Ada dan Ketiadaan sudah selalu terkandung ‘menjadi’. Lalu
apa sebenarnya tujuan dari metode dialektika ini?
Tujuan
dasar dari dialektika adalah untuk menganalisis realitas pada dirinya sendiri,
seturut geraknya sendiri, dan untuk memahami itu semua dalam terang akal budi.
Konsep inti di dalam metode dialektika Hegel adalah negasi atas negasi (negation
of the negation), atau yang ia sebut juga sebagaiAufhebung. Konsep
ini diawali dengan sebuah premis sederhana, bahwa segala sesuatu menjadi apa
adanya, karena selalu berada di dalam relasi dengan yang lainnya, yang bukan
sesuatu itu. Meja bisa ada dan diketahui oleh manusia, karena ada segala
sesuatu yang bukan meja,. Meja menegasi segala sesuatu yang bukan meja,
sehingga ia menjadi dirinya sendiri.
Hegel
mau mengajarkan kita untuk melihat realitas sebagai suatu proses. Proses
tersebut melewati tahap-tahap tertentu yang kelihatannya penuh dengan negativitas.
Namun negativitas itu sebenarnya merupakan antitesis yang nantinya akan
‘melampaui’ tesis dan antitesis sebelumnya. Seluruh realitas menurut Hegel
bergerak dengan pola itu. Dan pada akhir sejarah, realitas akan mengalami
sintesis absolut. Itulah akhir sejarah menurut Hegel. Seluruh proses ini
disebutnya sebagai dialektika, dan unsur penting dari dialektika itu adalah
kontradiksi dan negasi. Kontradiksi dan negasi itu memiliki unsur negativitas
yang kuat, namun diperlukan untuk perkembangan realitas menuju sintesis
absolut.***
0 comments:
Post a Comment