bom atom

Global Variables

Saturday, March 28, 2015

Teori dan biografi Foucoult

· 0 comments
Teori dan biografi Foucoult

BAB I

A.    Biografi Foucault
Michael Foucault adalah salah satu tokoh post modern yang lahir di Poiters pada tahun 1926. Ayah dan Kakek Foucault merupakan seorang ahli bedah. Tetapi ia menolak untuk mengikuti jejak ayahnya, dan ia lebih memilih mengambil studi filsafat.
Foucault diterima di Ecole Normale Superiure pada tahun 1944 di bawah bimbingan G. Canguilhelm, J. Hyppolite, dan G.Dumezil. lalu pada tahun 1948 ia mendapatkan lisensi dalam filsafat dan disusul lisensi dalam psikologi pada tahun 1950. Foucault kemudian bekerja di Ecole Normale Superiure dan menjadi anggota partai komunis di Perancis setelah perng dunia ke-II selesai.
Pada tahun 1954 ia menerbitkan buku berjudul Meladie Mentale et Personnalite (penyakit jiwa dan kepribadian). Selama periode 1954-1958 ia juga bekerja sebagai dosen di Universitas Uppsala (Swedia) pada bidang sastra dan budaya Prancis, dan pada tahun 1958 ia menjadi direktur kebudayaan Perancis di Warsawa. Pada tahun 1959 ia menjadi direktur juga di Hamburg sekaligus menyelesaikan buku Folie et Deraison. Historie de la Folie a I’age Classique’ (Kegilaan dan nir-rasio. Sejarah kegilaan dalam zaman klasik).
Tahun 1963, disertasinya diedit dan dibukukan dengan judul Historie de la folie (sejarah kegilaan). Tetapi karya monumentalnya adalah Les mots et les choses. Une archeologie des sciences humanies (kata-kata dan benda-benda. Sebuah arkeologi tentang ilmu-ilmu manusia) yang terbit pada tahun 1966. Karya Foucault dipandang sebagai aras strukturalisme Perancis yang masyur. Ketika karyanya yang berjudul L’archeologie du savoir (arkelologi pengetahuan) terbit pada tahun 1969, karya itu disambut masyarakat dengan antusias.
Sepanjang periode 1960-1976, Foucault sibuk dengan karya ilmiah dan aktivitas mengajarnya. Tahun 1960-an ia mengajar di Tunisia, Montpellier, Clemond-Ferrand, dan Paris-Nanterre. Ia juga mendirikan universitas Paris-Vincennes. Lalu pada tahun 1969 ia dipilih sebagai profesor di College de France. Tahun 1975, ia menerbitkan buku Surveiller et punir. Naissance de la prison. (Menjaga dan menghukum. Lahirnya penjara). Salah satu laporan penelitian Foucault yang menarik minat umum adalah riwayat hidup seorang pembunuh yang dulunya hidup sederhana di sebuah desa pada abad 19. Riwayat itu ditulis sendiri oleh sang pembunuh, Pierre Riviere, yang kemudian didokumentasi Foucault dalam judul Moi, Pierre Riviere, ayant egorge ma mere, ma soeur et mon frere..(Aku, Pierre Riviere, setelah membunuh Ibu, Saudari, dan Saudaraku...) dan diterbitkan pada tahun 1973. Pada tahun 1976, Foucault kembali menerbitkan salah satu karya besarnya yang berjudul Histoire de la sexualite (sejarah seksualitas) yang dirancang hadir dalam enam episode, namun ia hanya merampungkan tiga, masing-masing La volonte de savoir (kemauan untuk mengetahui) pada 1976, disusul L’usage des plaisirs (penggunaan kenikmatan) pada 1982, menyusul Le souci de soi (keprihatinan untuk dirinya)  di tahun 1984.
Popularitas Foucault tidak saja mencuat di Perancis atau di negara-negara yang menggunakan bahasa Perancis, tetapi juga mencapai negara dengan penduduk berbahasa Inggris. Ia beberapa kali menjadi dosen tamu di Amerika Serikat dan aktif dalam perluasan idenya melalui wawancara atau artikel. Beberapa bulan setelah terbitnya Le souci de soi (keprihatinan untuk dirinya)  di tahun 1984, Michel Foucault meninggal dunia. Ia tutup usia pada umur 57 tahun. Meski tidak ada konfirmasi resmi, Michel Foucault diduga meninggal karena HIV AIDS.
B.     Konsep dan Teori Foucault
Konsep Kekuasaan Foucault
Konsep kekuasaan Foucault sebenarnya banyak dipengaruhi oleh Nietzsche. Ia melihat ada kesamaan pikiran Nietzsche tentang genealogi dengan pikirannya tentang arkeologi tapi ada unsur dalam genealogi Nietzsche yang belum nampak yaitu kuasa. Selanjutnya akan dipaparkan beberapa pandangan Foucault tentang kekuasaan berdasarkan beberapa karyanya.
Kekuasaan dan Ilmu Pengetahuan
Dalam karyanya The Order of Things, Archeology of Human Sciences, Foucault menunjukkan bahwa ada dua perubahan besar yang terjadi dalam bentuk umum pemikiran dan teorinya. Yang pertama terjadi pada pertengahan abad ketujuhbelas, yang kedua pada awal abad kesembilan belas. Setelah menganalisis diskursus ilmu pengetahuan abad 17 dan 18 seputar sejarah alam, teori uang dan nilai dan tata bahasa, Foucault mengambil kesimpulan bahwa pusat ilmu pengetahuan pada waktu ini adalah tabel. Orang hendak merepresentasikan realitas dalam tabel. Tabel adalah satu sistem tanda, satu bentuk taksonomi umum dan sistematis dari benda-benda. Dengan konsentrasi pada tabel, pengetahuan pada masa ini menjadi ahistoris.
Pada akhir abad ke18 (setelah revolusi Prancis) sampai pertengahan abad 20 (Perang Dunia II), konsentrasi wacana ilmiah pada masa ini adalah sejarah dan manusia sebagai subjeknya. Manusia dibebaskan dari segala alienasi dan bebas dari determinasi dari segala sesuatu. Manusia menjadi objek pengetahuan dan dengan demikian dia menjadi subjek dari kebebasan dan eksistensinya sendiri. Manusia menjadi pusat pemikiran. Hal ini terlihat dalam perkembangan ilmu-ilmu sosial dan psikologi.
Objek penelitian Foucault dalam karya ini adalah kondisi-kondisi dasar yang menyebabkan lahirnya satu diskursus. Di sini Foucault menunjukkan hubungan antara diskursus ilmu pengetahuan dengan kekuasaan. Diskursus ilmu pengetahuan yang hendak menemukan yang benar dan yang palsu pada dasarnya dimotori oleh kehendak untuk berkuasa. Ilmu pengetahuan dilaksanakan untuk menetapkan apa yang benar dan mengeliminasi apa yang dipandang palsu.
Di sini menjadi jelas bahwa kehendak untuk kebenaran adalah ungkapan dari kehendak untuk berkuasa. Tidak mungkin pengetahuan itu netral dan murni. Di sini selalu terjadi korelasi yaitu pengetahuan mengandung kuasa seperti juga kuasa mengandung pengetahuan. Penjelasan ilmiah yang satu berusaha menguasai dengan menyingkirkan penjelasan ilmu yang lain. Selain itu, ilmu pengetahuan yang terwujud dalam teknologi gampang digunakan untuk memaksakan sesuatu kepada masyarakat. Karena dalam zaman teknologi tinggi pun sebenarnya tetap ada pemaksanaan, maka kita tidak dapat berbicara tentang kemajuan peradaban. Yang terjadi hanyalah pergeseran instrumen yang dipakai untuk memaksa.
Kegilaan dan Peradaban
Foucault melihat praktek pengkaplingan yang memisah-misahkan orang-orang yang sakit dari orang sehat, yang normal dari yang tidak normal merupakan  salah satu bentuk aplikasi kekuasaan seseorang atau satu kelompok orang atas yang lain. Foucault menemukan bahwa pada zaman Renaissance, kegilaan dan penalaran memiliki relasi yang erat, keduanya tidak terpisah, sebab keduanya menggunakan bahasa yang sama. Masyarakat tampaknya tidak menolak gagasan-gagasan dan tindakan-tindakan brilian yang lahir dari orang-orang yang dicap gila. Kegilaan adalah kebebasan imaginasi, dan masih menjadi bagian dari kehidupan masyarakat dalam zaman renaissance.
Namun pada zaman setelahnya (1650-1800), dialog antara kegilaan dan penalaran mengalami pembungkaman.Keduanya dilaksanakan dalam bahasa yang berbeda, dan akhirnya bermuara pada penaklukan kegilaan oleh penalaran, perlahan kegilaan menjadi sesuatu yang asing dan disingkirkan dari kehidupan yang harus dijiwai kelogisan. Bersamaan dengan itu, kegilaan harus disingkirkan dari masyarakat yang normal. Kegilaan telah menjadi satu tema yang membuat masyarakat terpisah dan terpecah.
Apa yang terjadi dengan orang gila, berjalan beriringan dengan apa yang terjadi dengan para penjahat, orang-orang miskin dan gelandangan. Mereka semua mulai disingkirkan, dalam bentuk penjara, rumah sakit umum, rumah sakit jiwa dan ditertibkan oleh sosok polisi dan pengadilan. Semua lembaga ini adalah bentuk yang digunakan oleh penguasa untuk menerapkan kekuasaannya atas masyarakat. Pengangguran adalah satu persoalan sosial, demikian juga semua yang menjadi alasan pengangguran, seperti kegilaan atau sakit. Orang gila dikaitkan dengan orang miskin dan penganggur. Dengan ini, etika menjadi persoalan negara. Negara dibenarkan menerapkan hukuman atas pelanggaran moral. Hukuman mati yang dipertontonkan adalah satu bukti cara pandang seperti ini. Dengan ini sekaligus hendak ditunjukkan bahwa ada kekuasaan. Eksekusi adalah tontonan yang luar biasa dan bentuk pemakluman yang paling efektif dari adanya kekuasaan yang mengontrol.
Dengan demikian, kita dapat melihat inti dari teori Foucault di sini menunjukkan bahwa sakit mental hanya muncul sebagai sakit mental dalam satu kebudayaan yang mendefinisikannya sebagai demikian. Karena menyangkut definisi, maka di dalam sakit mental sebenarnya kekuasaan mendominasi. Kegilaan adalah yang berbeda dari yang biasa, dan karena yang biasa dicirikan oleh produktivitas, maka kegilaan adalah tidak adanya produktivitas. Penanganan kegilaan adalah satu bentuk aplikasi kekuasaan seseorang atau satu kelompok orang atas yang lain, bukan pertama-tama masalah pengetahuan psikologis.
Kekuasaan dan Seksualitas
Dominasi kekuasaan juga dapat dilihat dalam analisis atas tema seksualitas. Foucault melihat seksualitas sebagai pengalihan pemahaman tentang kekuasaan. Bagaimana seksualitas diwacanakan adalah ungkapan dari kekuasaan. Pembicaraan yang terbuka tentang seks menurut Foucault, adalah demi mengatur dan mencatat jumlah kelahiran. Masalah penduduk adalah masalah sosial, dan masalah ini berhubungan dengan seksualitas. Karena itu, kekuasaan berusaha mempelajari dan mengintervensi pembicaraan tentang seks demi pengaturan pertumbuhan penduduk. Seksualitas menjadi masalah publik.
Para pelaku sodomi, onani, nekrofilia, homo seksual, masokis, sadistis dan sebagainya ditetapkan sebagai orang-orang yang berperilaku menyimpang. Foucault menunjukkan hubungan antara seksualitas dengan kekuasaan itu dalam pengakuan dosa dalam agama Kristen. Di sini sebuah rahasia dibongkar, dan bersamaan dengan ini posisi dia yang mengetahui rahasia itu menjadi sangat kuat. Yang menjadi pendengar pengakuan dosa itu adalah para ilmuwan, secara khusus psikiater. Dalam posisi seperti ini, psikiater menjadi penentu apa yang dianggap normal dan apa yang dipandang sebagai patologis dalam perilaku seksual.
Dengan menunjukkan hubungan antara seksualitas dan kekuasaan, Foucault menggarisbawahi tesis dasarnya bahwa kekuasaan ada di mana-mana. Intervensi kekuasaan ke dalam seksualitas terjadi melalui disiplin tubuh dan ilmu tubuh, dan melalui politik populasi yang meregulasi kelahiran. Kekuasaan mulai mengadministrasi tubuh dan mengatur kehidupan privat orang. Sejalan dengan itu, resistensi terhadap kekuasaan itu pun ada di mana-mana.
Disiplin dan Hukuman
Pada abad ke-17 dan 18, disiplin adalah sarana untuk mendidik tubuh. Praktik disiplin diharapkan melahirkan tubuh-tubuh yang patuh. Hal ini tidak hanya terjadi di penjara, tetapi juga dalam bidang pendidikan, tempat kerja, militer dan sebagainya Masyarakat selanjutnya berkembang menurut disiplin militer. Foucault beranggapan bahwa di era monarkial tiap proses penghukuman kriminal baru dianggap serius apabila telah melibatkan elemen penyikasaan tubuh dalam pelaksanaannya.
Pelaksanaan disiplin amat berhubungan dengan kuasa yang mengontrol. Foucault menguraikan bahwa fenomena disiplin tubuh selalu dikontrol oleh dua instrumen disiplin  yang diterapkan dari disiplin militer dalam masyarakat. Pertama, melalui observasi hirarkis atau kemampuan aparatus untuk mengawasi semua yang berada di bawahnya dengan satu kriteria tunggal. Panopticon yang terungkap dalam menara sebagai pusat penjara adalah bentuk fisik dari instrumen ini. Dengan adanya panopticon ini kekuasaan sipir menjadi sangat besar sebab para tawanan berusaha menahan diri mereka sendiri. Mereka takut dipantau. Kehadiran struktur itu sendiri sudah merupakan satu mekanisme kekuasaan dan disiplin yang luar biasa.
Instrumen kedua adalah menormalkan penilaian moral dan menghukum para pelanggar moral. Dalam hal ini kekurangan disamakan dengan kejahatan. Selain dipenjarakan, orang-orang yang menyimpang dipertontonkan. Maksudnya adalah menunjukkan kepada masyarakat betapa dekatnya manusia dengan binatang, dan manusia lain akan diperlakukan secara yang sama apabila mereka keluar dari batas-batas yang dipandang waras oleh masyarakat. Dalam keseluruhan penanganan atas penyimpangan-penyimpangan ini, psikiater atau aparat sebenarnya tidak berperan sebagai ilmuwan, tetapi sebagai kekuasaan yang mengadili.
Foucault membayangkan menara pengawas dalam panoptisme selain dioperasikan oleh petugas, dapat dipergunakan oleh banyak individu dengan pelbagai kepentingan. Ia dapat menjadi tempat seorang filsuf yang haus pengetahuan akan manusia menjadi museum manusia. Ia bahkan menjadi tempat bagi mereka yang tergolong mempunyai sedikit penyimpangan seksual memperoleh kenikmatan dengan mengintip orang-orang. Dalam panoptisme inilah Foucault memperlihatkan adanya kekuasaan yang teselubung dalam pelbagai institusi dan lembaga.



BAB II

Kritik Terhadap Teori Foucault
Seperti kebanyakan ahli postmodernisme lainya Foucault tidak mengakui adanya kebenaran mutlak yang ada hanyalah kebenaran relatif atau kebenaran kelompok yaitu sesuatu yang menurut kelompok atau orang-orang di sekitarnya benar itulah yang dianggap sebagai kebenaran. Teori diskursus Foucault yang memaparkan bahwa setiap bahasa, kata-kata, dan teori dipaparkan berdasarkan apa yang bisa melanggengkan kekuasaan. Foucault mengganggap bahwa manusia hanya dijadikan sebagai obyek kekuasaan tanpa mereka sadar sebenarnya mereka harus mengambil peran dalam suatu kekuasaan tersebut karena mereka sebenarnya memiliki kekuasaan masing-masing.
Ada beberapa kritik yang ditujukan kepada teori yang dikemukakan oleh Foucault ini yaitu teori Faoucault cenderung akan membentuk seseorang yang mempunyai sikap skeptis terhadap kenyetaan-kenyataan yang ada dalam masyarakat. Pada dasarnya seseorang yang menganut kebenaran relatif akan lebih mudah untuk bersikap skeptis terhadapa realita yang terjadi dalam masyarakat. Dalam suatu waktu seseorang tersebut bisa menjadi sangat mendukung suatu hal yang terjadi tapi dalam suatu waktu yang lain orang tersebut bisa menjadi sangat menentang hal yang sama.
Hal itu terjadi karena seseorang tersebut mendasarkan sikapnya bukan kepada kebenaran yang sesungguhnya melainkan pada kebenaran yang relatif jadi sangat mungkin seseorang akan bersikap menurut kepentingannya masing-masing, ketika kepentingan seseorang tersebut akan lebih terakomodasi dengan ia mendukung suatu hal maka ia akan menyatakan dukungannya tetapi jika kepentingan seseorang tersebut akan lebih terakomodasi dengan ia menentang suatu hal maka ia akan menyatakan menentang hal tersebut meskipun hal tersebut sebenarnya bertentangan dengan yang semestinya terjadi dalam masyarakat. Teori Foucault memungkin kan seseorang untuk bersikap seperti uraian tersebut. Seseorang akan lebih mudah bersikap skeptis padahal seseorang yang bersikap skeptis adalah seseorang yang tidak berpendirian tetap dan pandai memanfaatkan situasi bahkan cenderung licik. Hal ini akan berbahaya bagi keteraturan dan ketertiban kehidupan bermasyarakat.
Kritik berikutnya terhadap teori Foucault adalah dalam teorinya Foucault dapat disimpulkan bahwa Foucault menganggap semua bahasa, kata-kata, dan teori dirumuskan hanya untuk kepentingan kekuasaan semata sehingga Foucault tidak mengakui bahwa ilmu pengetahuan itu merupakan sesuatu fakta yang benar melainkan menurut Foucault ilmu pengetahuan dicetuskan hanya untuk kepentingan kekuasaan. Di satu sisi teori Foucault ini benar manakala kita tidak bisa sepenuhnya percaya apa yang telah dicetuskan penguasa dalam bahasa, kata-kata dan teorinya agar kita bisa tetap menjadi warga negara yang kritis pada kebijakan pemerintah demi kemajuan negara, namun di sisi lain teori Faoucault ini membuat seseorang terus berprasangaka bahwa semua bahas, kata-kata, teori yang dicetuskan pemegang kekuasaan hanya digunakan untuk kepentingan kekuasaanya padahal tidak semuanya demikian.
Sebagai contoh dalam teorinya tentang kekuasaan dan seksualitas Foucault berpendapat bahwa pelaku sodomi, onani, dan sebagainya yang sekarang dianggap menyimpang bukan lah seseorang yang menyimpang. Pelabelan seseorang yang mempunyai perilaku seks yang menyimpang menurut Foucault hanya untuk kepentingan kekuasaan dalam hal ini psikiater yang mendengarkan pengakuan dosa si pelaku penyimpangan seksual jadi Foucault menganggap hal yang paling pribadi pun tetap dicampuri kekuasaan. Teori Foucault tersebut akan membuka peluang kepada seseorang untuk berperilaku bebas dan mengabaikan adanya teori-teori tentang ilmu pengetahuan yang seharusnya diperhatikan seseorang tersebut demi kebaikannya dirinya sendiri. Jika seseorang melakukan penyimpangan seksual yang pada kenyataannya memang membahayakan kesehatan dirinya maka seseorang tersebut akan mengabaikannya karena teori Foucault ini. Hal tersebut akan sangat berabahaya bagi kesehatan dan kelangsungan hidup orang itu.



BAB III

Menghidupakan Kembali Teori Foucault
Michel Foucault adalah seorang filsuf yang merupakan murid dari Wilhelm Friedrick Nietszche karena itu pemikiran-pemikiran Foucault hampir sama dari pemikiran-prmikiran yang dicetuskan oleh Nietszche. Untuk menghidupkan kembali teori Foucault perlu ditilik kembali tentang teori diskursus Foucault berkesimpulan bahwa bahasa, kata-kata, dan teori dipaparkan berdasarkan apa yang bisa melanggengkan kekuasaan. Teori Foucault dapat dihidupkan kembali dalam masyarakat tetapi tentunya tidak bisa serta merta langsung diterapkan tanpa adalah pemilahan-pemilahan mana yang seharusnya dan mana yang tidak seharusnya dihidupkan kembali dalam kehidupan masyarakat.
Teori Foucault dapat diterapkan dalam masyarakat selama teori tersebut mampu menjadikan masyarakat tersebut kritis dan peduli terhadap apa yang terjadi di sekitarnya seperti apa yang menjadi kebijakan pemerintah yang diterapkan bagi masyarakat atau segala hal yang diperuntukkan untuk membuat masayarakat semakin maju dan berkembang. Teori Foucault yang menganggap semua teori hanya diperuntukan sebagai upaya untuk melanggengkan kekuasaan mendorong kita untuk kritis dan senantiasa berprasangka terhadap kebijakan-kebijakan atau keputusan-keputusan strategis yang diterapkan pemerintah kepada masyarakat sehingga kita dapat menjalankan fungsi kontrol kepada pemerintah melalui sikap kritis tersebut.
Jika kita tidak mempunyai sikap kritis atas kebijakan-kebijakan atau keputusan-keputusan pemerintah maka akan sangat berbahaya bagi kehidupan masyarakat manakala memang benar kebijakan-kebijakan atau keputusan-keputusan tersebut diperuntukan sebagai upaya untuk melanggengkan kekuasaan seperti yang telah dirumuskan Foucault dalam teorinya. Jadi teori Foucault dapat diterapkan sepanjang teori tersebut mampu menumbuhkan sikap kritis dan peduli dalam masyarakat terhadap kebijakan-kebijakan atau keputusan-keputusan pemerintah yang menyangkut baik buruknya kehidupan masyarakat itu sendiri. Namun, teori Foucault tidak dapat diterapkan manakala dengan diterapkanya teori tersebut membuat masyarakat justru bertindak liar dan tidak dapat dikendalikan.
Teori Foucault yang memungkinkan seseorang berprasangka bahwa semua teori dirumuskan untuk melanggengkan kekuasaan dapat membuat seseorang tersebut mempunyai prasangka yang berlebihan sehingga ia akan men “generalisasi’ kan bahwa semua kebijakan-kebijakan atau keputusan-keputusan yang diterapkan pemerintah sebagai wujud upaya pemerintah melanggengkan kekuasaannya. Hal ini akan membentuk sikap apatis dan acuh tak acuh yang akan mendorong seseorang tersebut berlaku seenaknya sendiri dan seringkali melanggar aturan-aturan yang sebenarnya diperuntukan demi kebaikan masyarakat.
Dalam tingkat yang lebih parah sikap apatis dan acuh tak acuh ini bukan hanya akan mendorong seseorang untuk berlaku melanggar aturan melainkan juga melahirkan sikap memberontak dan tidak patuh kepada pemerintah. Seseorang yang di dalam pikirannya tertanam bahwasanya semua kebijakan-kebijakan atau keputusan-keputusan yang diterapkan pemerintah merupakan suatu upaya pemerintah untuk melanggengkan kekuasaannya awalnya akan bersikap acuh tak acuh dan apatis terhadap segala hal yang dputusakan pemerintah. Dalam jangka waktu yang lama jika hal ini terjadi terus menerus maka akan terakumulasikan dan akan mendorong seseorang tersebut untu melawan dan memberontak kepada pemerintah yang mana akan menganggu stabilitas keamanan dan ketertiban dalam masyarakat.
Untuk itu dalam upaya menghidupkan kembali teori Foucault perlu dilakukan pemilahan-pemilahan agar nantinya tidak menimbulkan kekacauan dalam masyarakat. Teori Foucault dapat diterapkan selama teori tersebut dapat membuat seseorang menjadi kritis dan peduli terhadap apa yang terjadi dalam masyarakat, namun jika penerapan teori Foucault membuat seseorang menjadi apatis dan acuh atak acuh terhadap keadaan masyarakat hendaknya teori Foucault cukup menjadi pengetahuan saja dan tidak tidak diterapkan dalam masyarakat.     


BAB IV

Kesimpulan
Michel Foucault adalah seorang tokoh post modern yang lahir di Poiters pada tahun 1926 yang merupakan murid Nietszche. Foucault terkenal dengan teori diskursus yang menyatakan bahwa semua bahasa, kata-kata, dan teori-teori yang dicetuskan merupakan alat untuk melanggengkan kekuasaan. Menurut Foucault kekuasaan ada dalam semua aspek kehidupan manusia bahkan dalam hal yang sangat pribadi pun manusia tetap tidak memiliki wewenang untuk menentukan mana yang baik dan mana yang buruk.
Seperti hal nya teori yang lain, teori Foucault juga menuai pro dan kontra selalu ada baik dan buruk dalam setiap teori yang dicetuskan. Teori Foucault dapat dihidupkan kembali dalam masyarakat namun tidak bisa serta merta diterapkan melainkan dengan adanya tindakan memilah kapan seharusnya teori tersebut diterapkan dan kapan teori tersebut tidak seharusnya diterapkan. Teori Foucault dapat diterapkan selama teori tersebut dapat membuat seseorang menjadi kritis dan peduli terhadap apa yang terjadi dalam masyarakat, namun jika penerapan teori Foucault membuat seseorang menjadi apatis dan acuh atak acuh terhadap keadaan masyarakat hendaknya teori Foucault cukup menjadi pengetahuan saja dan tidak tidak diterapkan dalam masyarakat.


“Hantu bangku depan”

· 0 comments
“Hantu bangku depan”

            Duduk di depan, terlihat sepele saja bagi orang-orang yang belum pernah duduk di sebuah ruang kelas. Pola pikir menegnai duduk di depan ini bisa menjadi hal yang rumit karena terkait sebuah pola pikir itu dibangun dan akhirnya membudaya dikalangan peserta didik dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi di seluruh Indonesia. Sebuah budaya yang harusnya dirubah karena turut andil dalam mental seorang peserta didik, bagaimana kefektifan, tingkat kefokusan peserta didik dan bagaimana respon dari peserta didik selama kegiatan belajar berlangsung di dalam kelas. Ada apa dengan bangku paling depan, terutama yang berhadapan langsung dengan guru atau dosen? Adakah sosok hantu yang menakutkan bagi peserta didik? Pertanyaan-pertanyaan ini mungkin pantas ditanyakan bagi orang-orang yang belum pernah memperhatikan maupun berada di dalam ruang kelas. Mari kita runtut dari pengalaman kita sejak di bangku sekolah dasar, bagaimana hantu bangku depan ini diciptakan. Ketika kita masih di sekolah dasar, di sini kita mulai dibuat takut dengan hantu bangku depan bahwa ketika kita duduk paling depan kita yang akan pertama ditanya oleh guru kita terutama mengenai mata pelajaran yang sedang diajarkan, atau kita disuruh maju ke depan kelas untuk mengerjakan sesuatu hal baik itu soal yang tertulis maupun lisan dari guru kita. Tentunya hal-hal ini menjadi ketakutan kita, karena kita takut tidak bisa menjawab soal-soal tersebut ditambah lagi penggambaran sosok guru yang seakan-akan kejam, siap menghukum apabila peserta didiknya gagal dalam menjawab soal yang diberikan. Pada akhirnya hantu bangku depan ini hadir dalam alam pikiran kita sejak dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Kalau pun ada yang duduk di depan rata-rata adalah peserta didik perempuan dan hanya segelintir peserta didik laki-laki saja yang biasanya dijauhi oleh teman-temannya. Ketika kita menginjak bangku SLTA dan perguruan tinggi, hantu bangku depan ini juga masih ikut bergentayangan di alam bawah sadar kita, namun hantu bangku depan berubah menjadi sebuah peluang untuk mencuri-curi waktu di saat proses kegiatan belajar berlangsung untuk bermain gadget atau membenahi make up maupun membenahi gaya rambut dengan sebuah cermin yang diselipkan di tempat pensil maupun buku yang berada di atas meja, hantu bangku depan mengganas karena bagi mereka yang duduk di bangku depan mendapat ejekan verbal dari teman satu kelasnya sendiri. Keberadaan hantu bangku depan sebenarnya dapat dibasmi sejak dini, yaitu dengan mengubah pandangan mengenai rasa takut apabila duduk di bangku depan. Pemikiran ini harus disosialisasikan dari pendidikan tingkat dasar secara intensif dan berkelanjutan. Apalagi dalam kurikulum 2013 melabeli dengan pendidikan karakter. Jadi seharusnya dengan pendidikan karakter sejak dini maka keberadaan hantu bangku depan ini sudah tidak ada lagi. Peserta didik bukan lagi memperebutkan bangku yang paling belakang, melainkan berebut untuk bangku paling depan.

Tuesday, December 9, 2014

TUGAS POWTOON

· 0 comments


TUGAS POWTOON KELOMPOK 8, MATA KULIAH TEKNOLOGI, INFORMASI DAN KOMUNIKAS,  SEMESTER 3
SOSIOLOGI ANTROPOLOGI
FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG


  1. DEDI ARIF SETIAWAN
  2. AYU PRIHANINGTYAS
  3. IHDA AYU M.
  4. IDA NUR KHOLIDA
  5. SHERREN GUNAWAN

Monday, December 1, 2014

Memahami Pemikiran Max Weber

· 0 comments
Memahami Pemikiran Max Weber
Oleh: Dedi Arif Setiawan
Diawali oleh esai etika protestan dan semangat kapitalisme, Weber menyebutkan agama adalah salah satu alasan utama perbedaan antara budaya barat dan timur. Ia mengaitkan efek pemikiran agama dalam kegiatan ekonomi, hubungan antara stratifikasi sosial dan pemikiran agama serta pembedaan karakteristik budaya barat. Tujuannya untuk menemukan alasan mengapa budaya barat dan timur berkembang dengan jalur yang berbeda. Weber kemudian menjelaskan temuanya terhadap dampak pemikiran agama puritan (protestan) memiliki pengaruh besar dalam perkembangan sistem ekonomi di Eropa dan Amerika Serikat, namun tentu saja ini ditopang dengan faktor lain diantaranya adalah rasionalitas terhadap upaya ilmiah, menggabungkan pengamatan dengan matematika, ilmu tentang pembelajaran dan yurisprudensi, sistematisasi terhadap administrasi pemerintahan dan usaha ekonomi. Studi agama menurut Weber semata hanyalah meneliti satu emansipasi dari pengaruh magi, yaitu pembebasan dari pesona. Hal ini menjadi sebuah kesimpulan yang dianggapnya sebagai aspek pembeda yang sangat penting dari budaya yang ada di barat.
Max Weber dengan baik mengaitkan antara Etika Protestan dan Semangat Kapitalis (Die Protestan Ethik Under Giest Des Kapitalis). Tesisnya tentang etika protestan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi kapitalis. Ini sangat kontras dengan anggapan bahwa agama tidak dapat menggerakkan semangat kapitalisme. Studi Weber tentang bagaimana kaitan antara doktrin-doktrin agama yang bersifat puritan dengan fakta-fakta sosial terutama dalam perkembangan industri modern telah melahirkan corak dan ragam nilai, dimana nilai itu menjadi tolak ukur bagi perilaku individu.
Karya Weber tentang The Protestan Ethic and Spirit of Capitalism menunjukkan dengan baik keterkaitan doktrin agama dengan semangat kapitalisme. Etika protestan tumbuh subur di Eropa yang dikembangkan seorang yang bernama Calvin, saat itu muncul ajaran yang menyatakan seorang pada intinya sudah ditakdirkan untuk masuk surga atau neraka, untuk mengetahui apakah ia masuk surga atau neraka dapat diukur melalui keberhasilan kerjanya di dunia. Jika seseorang berhasil dalam kerjanya (sukses) maka hampir dapat dipastikan bahwa ia ditakdirkan menjadi penghuni surga, namun jika sebaliknya kalau di dunia ini selalu mengalami kegagalan maka dapat diperkirakan seorang itu ditakdirkan untuk masuk neraka.
Doktrin Protestan yang kemudian melahirkan karya Weber tersebut telah membawa implikasi serius bagi tumbuhnya suatu etos baru dalam komunitas Protestan, etos itu berkaitan langsung dengan semangat untuk bekerja keras guna merebut kehidupan dunia dengan sukses. Ukuran sukses dunia – juga merupakan ukuran bagi sukses di akhirat. Sehingga hal ini mendorong suatu semangat kerja yang tinggi di kalangan pengikut Calvinis. Ukuran sukses dan ukuran gagal bagi individu akan dilihat dengan ukuran yang tampak nyata dalam aktivitas sosial ekonominya. Kegagalan dalam memperoleh kehidupan dunia – akan menjadi ancaman bagi kehidupan akhirat, artinya sukses hidup didunia akan membawa pada masa depan yang baik di akhirat dengan “jaminan” masuk surga, sebaliknya kegagalan yang tentu berhimpitan dengan kemiskinan dan keterbelakangan akan menjadi “jaminan” pula bagi individu itu masuk neraka.
Upaya untuk merebut kehidupan yang indah di dunia dengan “mengumpulkan” harta benda yang banyak (kekayaan) material, tidak hanya menjamin kebahagiaan dunia, tetapi juga sebagai media dalam mengatasi kecemasan. Etika Protestan dimaknai oleh Weber dengan kerja yang luwes, bersemangat, sungguh-sungguh, dan rela melepas imbalan materialnya. Dalam perkembangannya etika Protestan menjadi faktor utama bagi munculnya kapitalisme di Eropa dan ajaran Calvinisme ini menebar ke Amerika Serikat dan berpengaruh sangat kuat disana.
Weber mendefinisikan semangat kapitalisme sebagai bentuk kebiasaan yang sangat mendukung pengejaran rasionalitas terhadap keuntungan ekonomi. Semangat seperti itu telah menjadi kodrat manusia-manusia rasional, artinya pengejaran bagi kepentingan-kepentingan pribadi diutamakan daripada memikirkan kepentingan dan kebutuhan kolektif seperti yang dikehendaki oleh Kar Marx. Islam pun sebenarnya berbicara tentang kaitan antara makna-makna doktrin dengan orientasi hidup yang bersifat rasional. Dalam salah satu ayat disebutkan bahwa setelah menyelesaikan ibadah shalat, diperintahkan untuk bertebaran di muka bumi ini dalam rangka mencari karunia Allah SWT. Namun dalam Islam ada mekanisme penyeimbangan yang digunakan untuk membatasi kepemilikan pribadi dengan kewajiban membayar zakat, infaq dan shadaqah.
Menurut Max Weber bahwa suatu cara hidup yang teradaptasi dengan baik memiliki ciri-ciri khusus kapitalisme yang dapat mendominasi yang lainnya merupakan kenyataan yang real ketika masa-masa awal revolusi industri, ketika Weber hidup, kenyataan-kenyataan itu mejadi sesuatu yang benar-benar nyata dipraktekkan oleh manusia. Hidup harus dimulai di suatu tempat dan bukan dari individu yang terisolasi semata melainkan sebagai suatu cara hidup lazim bagi keseluruhan kelompok manusia.
Kita perlu mengkritik mengenai teorinya Weber tentang etika protestan dan semangat kapitalis ini. Dalam penelusuran sejarah, ternyata setelah Weber mempublikasikan tulisannya mengenai etika protestan justru keadaan ekonomi masyarakat protestan semakin menurun dan disisi lain mayoritas katolik justru sedang bangkit. Ini adalah bola api yang bisa berbalik membakar teorinya Weber sendiri, karna etika protestan dan semangat kapitalis yang menjadi teorinya tidak dapat dijadikan ramalan masa depan.
Selain membicarakan tentang kaitan antara Protestan dan Kapitalisme, Weber juga membicarakan tentang agama Tiongkok yakni Konfusionisme dan Taoisme, perhatian Weber pada agama ini tampaknya menunjukkan besarnya perhatian Weber atas kenyataan-kenyataan sosial dalam kehidupan manusia. Dalam tulisan-tulisannya yang lain, Weber juga sempat membicarakan masalah-masalah Islam. Hadirnya tulisan tentang Konfusionisme dan Taoisme dalam karya Weber ini dapat dipandang sebagai perbandingan antara makna agama di Barat dan di Timur. Ia banyak menganalisa tentang masyarakat agama, tentu saja dengan analisa yang rasional dan handal serta sama sekali tidak ada maksud untuk mendiskriminasikan agama tertentu. Agama Tiongkok; Konfusianisme dan Taonisme merupakan karya terbesar kedua dari Weber dalam sosiologi tentang agama.
Weber memusatkan perhatiannya pada unsur-unsur dari masyarakat Tiongkok yang mempunyai perbedaan jauh dengan budaya yang ada di bagian barat bumi (Eropa) yang dikontraskan dengan Puritanisme. Weber berusaha mencari jawaban “mengapa kapitalisme tidak berkembang di Tiongkok?” dalam rangka memperoleh jawaban atas pertanyaan sederhana diatas, Webar melakukan studi pustaka atas eksistensi masyarakat tiongkok. Bagaiman eksistensi itu dipahami Weber dalam rangka menuntaskan apa yang menjadi kegelisahan empiriknya, maka yang dilakukana adalah memahami sejarah kehidupannya,
Dalam berbagai dokumen yang diteliti oleh Weber, bahwa masyarakat Tiongkok memiliki akar yang kuat dengan kehidupan nenek-moyang mereka sejak tahun 200 SM,
Tiongkok pada saat itu merupakan tempat tinggal para pemimpin kekaisaran yang membentuk benteng-benteng di kota-kota Tiongkok, disitu juga merupakan pusat perdagangan, namun sayangnya mereka tidak mendapatkan otonomi politik, ditambah warganya yang tidak mempunyai hak-hak khusus, hal ini disebabkan oleh kekuatan jalinan-jalinan kekerabatan yang muncul akibat keyakinan keagamaan terhadap roh-roh leluhur. Hal lainnya adalah gilda-gilda yang bersaing merebutkan perkenan kaisar. Sebagai imbasnya warga kota-kota Tiongkok tidak pernah menjadi suatu kelas setatus terpisah. Namun jika kita cermati dinegara beragamakan Taoisme dan Konfucuisme kini mampu berkembang dan banyak kapitalis dimana-mana mungkin hal itu sudah tidak relevan lagi dengan fakta sosial saat ini.
Pada bagian awal buku ini weber menuliskan tentang politik dan kekuasaan, ada berbagai hal yang menarik untuk diulas bagi banyak teoritik sosial. Tentang Negara Weber mendifinisikan negara sebagai sebuah lembaga yang memiliki monopoli dalam penggunaan kekuatan fisik secara sah, definisi ini menjadi sangat berharga karna sumbangsihnya dalam studi tentang ilmu politik barat modern. Pada bagian satu buku ini diterangkan tentang adanya tiga justifikasi batiniah yang menjadi legitimasi dasar bagi dominasi. Legitimasi dasar bagi dominasi ini yang pertama ialah otoritas atas masa lalu abadi atau sering disebut sebagai dominasi tradisional, karma disini ada otoritas atas adat istiadat yang dikeramatkan. Otoritas seperti ini dipakai patriach dan penguasa patrimonial dimasa lalu, salah satunya adalah adat yang mengangkat seorang pemimpin atas dasar darah keturunan atau dari suku tertentu. Yang kedua merupakan otoritas kharismatik diantaranya; ketaatan personal absolut dan keyakinan personal pada wahyu, heroisme, atau bisa juga kualitas lain yang istimewa dari kepemimpinan individual. Sebagai contohnya seperti yang diperaktikan seorang Nabi, pangliama perang terpilih, atau pemimpin-pemimpin politik yang memang mempunyai sebuah kharisma. Yang ketiga merupakan dominasi karma legalitas, dominasi ini didasari oleh sebuah hukum yang memang sudah terbentuk. Legalitas ini timbul karena keyakinan pada keabsahan statula legal dan komnpetensi fungsional yang beralas pranata yang dibuat secara rasional. Contohnya pemimpin yang dipilih secara demokratis melalui pemilu yang berdasarkan undang-undang yang berlaku seperti halnya Negara kita dan Negara-negara lain yang demokratis.
Ada yang perlu dikritik dalam karya Weber mengenai perkembangan rasionalisasi hukum, menurutnya perkembangan hukum diawali pewahyuan ala kharismatik, tahapan ini merupakan penciptaan hukum dari ketiadaan hukum sama sekali. Tahapan ini ditandai dengan mode bersifat kharimatik. Tahapan yang kedua menurut Weber adalah penciptaan hukum secara empiris, pengadaan hukum empiris ini tercipta melalui proses teknis yang merupakann kreatifitas manusia itu sendiri, tahapan kedua ini ditandai dengan metodenya yang bersifat empirical. Selanjutnya adalah tahapan imposition atau pembebanan hukum oleh kekuatan-kekuatan sekuler, dan yang terakhir merupakan tahapan profesional, artinya hukum yang dibuat oleh orang-orang yang benar-benar mempunyai kemampuan didalamnya karna mereka mendapatkan pendidikian formal dengan metode ilmiah dan logis formal. Kesimpulanya Weber melihat masyarakat selalu akan berkembang dari kharismatik tradisional menuju tahapan-tahapan yang sudah ditentukan diatas. Tapi jika kita melihat berbagai perkembangan hukum, proses itu tak berjalan linier menaiki tangga secara berurutan, justru perubahannya bisa saja terjadi secara gradual atau acak. Hal ini bisa ditemukan pada kondisi masyarakat yang mengalami revolusi. Ditengah-tengah dunia modern kita masih menemukan fakta banyaknya masyarakat tradisional yang begitu kesulitan dalam menyesuaikan hukum yang mengikatnya oleh hukum formal yang diciptakan negara, ini mengakibatkan kementalan antara kualitas hukum dan kualitas masyarakat, alasannya adanya masyarakat yang tak bisa mencerna hukum sehingga terjadi pemboikotan secara tidak langsung.
Ada kasus yang lebih menarik dikaitkan dengan perkembangan hukum manusia saat ini, contoh beberapa negara yang menggunakan syariat Islam, tentu saja bisa merupakan penolakan mentah-mentah atas teorinya Weber. Apa yang disebut sebagai hukum tuhan yang berpedoman pada wahyu dari teks-teks suatu kitab suci masih berlaku sepanjang zaman yang dijadikan hukum manusia saat ini. Tentu tidak serta merta dapat dikatakan ketinggalan, karna berada pada tahap satu dari perkembangan manusia yang diungkapkan Weber sebelunya, justru kharismatik tradisional mapu melampaui hukum manusia profesiaonal sekalipun.
Buku ini bisa di ibaratkan pohon yang memiliki beberapa tandan buah, beberapa tandan dari buku yang berkafer biru ini diantaranya mengulas tentang agama, kekuasaan, ilmu pengetahuan dan politik. Pada bagian yang kedua dalam buku ini merupakan esai tentang kekuasaan, didalamnya ada banyak sekali pembahasan diantaranya mengenai struktur kekuasaan, mengenai kelas social, status dan partai, juga birokrasi.
Weber selain dari salah satu pendiri ilmu sosiologi juga merupakan pendiri administrasi Negara modern, dalam karyanya weber banyak menulis tentang ekonomi dan pemerintahan. Kaitannya dengan birokrasi weber mengutarakan banyak hal termasuk didalamnya tentang karakteristik sebuah birokrasi. Ada beberapa karakteristik sebuah birokrasi yang merupakan kepiawaian modern yang berfungsi secara spesifik diantaranya : adanya prinsip area yurisdiksional yang sudah ditetapkan dan resmi, adanya prinsip-prinsip hirarki jabatan dan tingkat-tingkat kewenangan, manajemen yang yang didasarkan pada dokumen-dokumen tertulis juga adanya menejemen yang benar-benar terspesialisai. Pada bagian yang tak kalah pentingnya, Weber mengulas bagaimana pemangkuan jabatan itu merupakan sebuah panggilan. Hingga pada sebuah kesimpulan Weber melihat birokrasi sebagai contoh klasik rasionalisasi.
Cukup banyak yang bisa ditemukan dari ide-ide cemerlang Max Weber mengenai birokrasi, sehingga saya pikir ini adalah PR bagi pembaca untuk dapat menghatamkan tulisan dalam buku yang penuh makna ini. Bagian ini memang merupakan acuan mengapa Weber dikatakan sebagai salah satu pendiri adanya administrasi modern.
Buku ini merupakan jendela melihat masa lalu untuk memahami kerangka teoritik Weber. Ia tak kalahnya dengan hantu tua Karl Marx bahkan ia menjadi salah seorang yang membalikan perspektif teoritik Marx. Diantaranya ketika Weber mengatakan pada suatu kesimpulan bahwa faktor material bukanlah satu-satunya faktor yang dapat mempengaruhi gagasan, namun sebaliknya gagasan itu sendiri mempengaruhi struktur material. Weber juga mencoba melengkapi kekurangan dari marx terbukti didalam karyanya mengenai stratifikasi dimana stratifikasi sosial diperluas hingga mencakup stratifikasi berdasarkan prestis, status atau kekuasaan. Pada dasarnya karya Weber lebih menekankan tentang proses rasionalisasi yang selalu mendasari semua teoritiknya.
Isi buku yang diterbitkan oleh pustaka pelajar ini mempunayai bobot nutrisi kaya teori, namun tingkat kesulitan dalam memahami bagaimana inti permasalahannya menjadi kendala utama dalam menguasai teori dalam buku ini. Masalah seperti ini memang sering kita temui ketika membaca karya-kaya terjemahan asing. Banyak para tokoh yang menjelaskan teori weber ini dalam bahasa yang sangat sderhana sehingga mudah untuk dipahami, Weber merupakan penulis yang paling buruk dibandingkan dengan tokoh sosiologi lain dalam menjelaskan ide gagasannya, makanya banyak kalangan begitu kesulitan menangkap pemikiran Weber sehingga lebih memilih buku yang sudah dianalisa oleh tokoh lain sesudah Weber. Namun dibalik itu semua Weber mempunyai ide yang cemerlang, ia mempunyai pemikiran yang hebat yang bisa ditemukan dalam buku ini. Kerumitan dalam memahami buku sosiologi Max Weber ini dapat diatasi dengan kesungguhan mempelajarinya.
Buku ini seperti sebuah sumur yang dalam, dengan air sebagai gambaran dari teorinya yang tak pernah kering sepanjang masa. Gagasan Max Weber seakan tak pernah surut menghadapi musim silih berganti, ditengah-tengah bayak teoritis baru bermunculan justru ia dapat berjasa dalam perkembangan sosiologi sepanjang zaman.
Menurut hemat penulis, buku ini sangat penting dibaca oleh Dosen, Mahasiswa, pemerhati masalah-masalah agama, politik, birokrasi dan siapa saja yang memiliki perhatian pada dunia ilmu. Buku ini tidak hanya menjadi “wajib’ dibaca oleh ilmuan-ilmuan sosial, melainkan mereka yang concern pada masalah-masalah agama dan politik.

handapeunpost